Sign Up

Sign Up to our social questions and Answers Engine to ask questions, answer people’s questions, and connect with other people.

Sign In

Login to our social questions & Answers Engine to ask questions answer people’s questions & connect with other people.

Forgot Password

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link and will create a new password via email.

Sorry, you do not have permission to ask a question, You must login to ask a question.

Please briefly explain why you feel this question should be reported.

Please briefly explain why you feel this answer should be reported.

Please briefly explain why you feel this user should be reported.

Pengertian dan Konsep Tajalli Menurut Ulama Tasawuf

Pengertian dan Konsep Tajalli Menurut Ulama Tasawuf

Secara etimologi, kata tajalli merupakan istilah tasawuf yang berarti penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”. 1 Tajalli selama ini dipahami sebagai lenyapnya hijab dari sifat-sifat kemanusiaan, jelasnya Nur yang ghaib, dan fana’-nya segala sesuatu ketika nampak wajah Allah.2

Istilah tajalli pertama kali digunakan oleh Ibn Arabi yang bersinonim dengan kata faid (emanasi, pemancaran, pelimpahan), zuhur (pemunculan, penampakan, pelahiran), tanazzul (penurunan, turunnya), dan fath (pembukaan).3

Konsep tajalli beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt., dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah Swt., Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun menampakkan Diri-Nya dalam bentuk tajalli.

 Artinya: Aku adalah perbendaharaan yang tersimpan, kemudian Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan manusia. Dengan demikian, melalui-Ku mereka mengenal-Ku.4

 Proses penampakan diri Tuhan itu diuraikan oleh Ibn ‘Arabi. Menurutnya, Zat Tuhan yang mujarrad dan transendental itu bertajalli dalam tiga martabat melalui sifat dan asma’ (nama)-Nya, yang pada akhirnya muncul dalam berbagai wujud konkrit-empiris. Ketiga martabat itu adalah  martabat ahadiyah, martabat wahidiyah, dan   martabat   tajalli   syuhudi. Sedangkan menurut al-Jilli, Allah bertajalli  melalui  lima  tahap,  yaitu  martabat  uluhiyah, ahadiyah, wahidiyah, rahmaniyah dan martabat rububiyah.5

Pertama, martabat ahadiyah. Pada tahap ini, wujud Tuhan merupakan Zat Mutlak lagi mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat dipahami ataupun dikhayalkan. Pada martabat ini, Tuhan sering diistilahkan al-Haq oleh Ibn ‘Arabi berada dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi al-‘amâ’); tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak musammâ (dinamai). Pada martabat ini, al-Haq tidak dapat dikomunikasikan oleh siapa pun dan tidak dapat diketahui.

Kedua, Martabat  wahidiyah adalah penampakan pertama (ta’ayyun awwali) atau disebut juga martabat tajalli zat pada sifat atau  faid  al-aqdas  (emanasi  paling  suci).  Dalam  aras  ini,  zat  yang mujarrad itu bermanifestasi melalui sifat dan asma’-Nya. Dengan manifestasi atau tajalli ini, zat tersebut dinamakan Allah Swt., pengumpul dan pengikat Sifat dan Nama yang Maha sempurna (al- asma  al-husna).  Akan  tetapi,  sifat  dan  nama  itu  sendiri  identik dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa, tetapi Ia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (al-ayan sabitah).

Ketiga, Martabat tajalli syuhudi disebut juga faidh al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani (entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat kedua). Pada martabat ini Allah swt., bertajjali melalui asma’ dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasat mata. Dengan kata lain, melalui firman kun (jadilah), maka entitas permanen secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan demikian, alam ini tidak lain adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus atau mazhar  tajalli  al-Haq.

Alam  yang  menjadi  wadah  manifestasi  itu sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia tidak lain laksana ‘aradh atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada. Begitu pula dalam tasawuf.

Menurut Ibn Arabi, selama ada Allah, maka alam akan tetap ada, ia hanya muncul dan tenggelam tanpa akhir.

Konsepsi tajalli Ibn Arabi kemudian dikembangkan oleh Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri (ulama India abad ke- 16) dalam tujuh martabat tajjali, yang lazim disebut martabat tujuh. Selain dari tiga yang disebut dalam konsepsi versi Ibn Arabi, empat martabat  lain  dalam  martabat  tujuh  adalah:  martabat  alam  arwah, martabat  alam  misal,  martabat  alam  ajsam,  dan  martabat  insan kamil.6

Martabat alam arwah adalah ”Nur Muhammad” yang dijadikan Allah Swt., dari nur-Nya, dan dari nur Muhammad inilah muncullah   ruh   segala   makhluk.   Martabat   alam   ajsam   adalah diferensiasi dari Nur Muhammad itu dalam ruh individual seperti laut melahirkan dirinya dalam citra ombak. Martabat alam ajsam adalah alam material yang terdiri dari empat unsur, yaitu api, angin, tanah, dan air.

Keempat unsur material ini menjelma dalam wujud lahiriah dari alam ini dan keempat unsur tersebut saling menyatu dan suatu waktu terpisah. Adapun martabat insan kamil atau alam paripurna merupakan himpunan segala martabat sebelumnya. Martabat- martabat tersebut paling kentara terutama sekali pada Nabi Muhammad Saw., sehingga Nabi Saw., disebut insan kamil.

Tajalli al-Haq dalam konsep insan kamil terlebih dulu telah dikembangkan secara luas oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli (1365-1428) dalam karyanya al-Insân al-Kâmil fî Ma’rifat al- Awâkhir wa al-Awâ’il. Baginya, lokus tajalli al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak   sebelum   alam   ini   ada,   ia   bersifat   qadim   lagi   azali.   Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa as. dan lain-lain hingga dalam bentuk nabi penutup, Muhammad saw. Kemudian ia berpindah kepada para wali dan berakhir pada wali penutup (khatam auliya), yaitu Isa as., yang akan turun pada akhir zaman.

Menurut al-Jilli di dalam karnya yang berjudul al-Insan al- Kamil sebagaimana dikutip oleh Mustafa Zahri, tajalli terbagi menjadi empat tingkatan, yaitu:

1) Tajalli Af’al. Dalam tingkatan ini Al-Jilli menggambarkan, ibarat pengelihatan di mana seorang hamba Allah melihat padanya berlaku kudrat Allah pada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan, maka tiadalah fiil lagi sang hamba. Gerak dan diam serta  isbat  adalah  bagi  Allah  semata-mata.

2)  Tajalli  Asma’.  Pada tingkatan   ini,   seorang   hamba   fana‘ dari dirinya   dan  bebas  dari genggaman sifat-sifat kebaruan dan lepasnya ikatan dari tubuhnya. Ketika itu, ia fana’ ke dalam baqa’-Nya Allah, karena telah suci dari sifat kebaruan.

3) Tajalli Sifat. Ketika Allah menghendaki atas hamba-Nya tajalli sifat, maka keadaan ketika itu fana’-lah seorang hamba dari dirinya dan baqa’-lah sifat-sifat Allah dalam dirinya.

4) Tajalli Zat. Al-jilli menjelaskan, bahwa ketika seorang hamba sampai tingkatan ini, ia memperoleh karuni ketuhanan berupa karunia zat. Ketika karunia zat telah masuk kedalam dirinya dan dirinya telah fana  dari selain-Nya, maka pada saat itulah ia menjadi manusia yang sempurna. 7

Konsep tajalli sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Arabi yang kemudian dikembangkan oleh murid ideologisnya, yaitu al-Jilli bila diamati dengan seksama ada kesamaan dengan konsep alhulul yang diusung oleh al-Hallaj.

Secara   etimologi, hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya melalui fana’.8

Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan dalam tubuh itu dilenyapkan. Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Allah melihat pada zat-Nya sendiri dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari banyaknya ini.9

Selain  mirip  dengan  konsep  alhulul,  tajalli  juga  memiliki kesamaan  dengan  konsep  ittihad  Abu  Yazid  al-Busthami.  Dalam konsep ini, ketika seorang sufi telah berhasil bersemayam pada maqam baqa’,  maka  secara  otomatis  dia  mengalami  ittihad.  Dalam tingkatan ini seorang sufi telah merasa bahwa dirinya bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dengan yang dicintai menyatu, baik jauhar (substansi) maupun perbuatnnya. Dalam keadaan demikian, maka penunujukan antara ia dengan yang lain adalah sama. Lebih lanjut disebutkan, bahwa segala sesuatu yang ada ini dilihat sebagai wujud yang satu itu sendiri. Pada saat itu, maka yang dilihat bahwa wujud hamba adalah wujud Tuhan itu sendiri, demikian pula sebaliknya.10

Walaupun ada kemiripan dalam kesatuan Allah dan makhluk, ada sejumlah perbedaan antara konsep wahdatu alwujud Ibnu Arabi dengan alhulul dan ittihad  . Menurut wahdatu alwujud, wujud yang hakiki hanya satu, yaitu wujud Allah. Sedangkan alam hanya sebagai mazhar (penampakan) bagi-Nya. Tidak  ada  wujud  hakiki  kecuali wujud yang satu. Karena itu Tuhan berwujud dalam berbagai bentuk, tapi hal itu tidak mengharuskan berbilangnya wujud yang sebenarnya.

Selain  itu,  wahdatu  al-wujud  Ibnu  Arabi  tidak  sampai kepada paham pantaisme. Tuhan masih dianggap sebagai Pencipta dan bukan sebaliknya. Di samping itu pula sampai pula kepada ittihad  sebagaimana  yang  dianggap  oleh  Ibnu  Taimiyah.   Sebab, wahdatu al-wujud   mencakup penampakan Tuhan pada seluruh alam semesta atau pada apa saja yang ada di alam. Sedangkan konsep ittihad  dan hulul   hanya terbatas pada adanya kemungkinan seorang sufi yang sudah sampai ke tingkat fana‘ akan bersatu dengan Tuhan dan konsep hulul hanya terbatas pada adanya kemungkinan seorang sufi yang fana  menjadi tempat tajalli-nya Tuhan. 11

Senada  dengan  konsep  wahdatu  al-wujud  Ibnu  Arabi,  al-Jilli mengatakan, “Mengetahui zat yang Maha tinggi itu secara kasyaf Ilahi,  yaitu  kamu dihadapan-Nya dan Dia dihadapanmu tanpa  hulul dan ittihad. Sebab, hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya”. Dengan pernyataan ini, kita pahami bahwa sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama-Nya.12

Tajalli biasanya didasarkan pada firman Allah swt., yang dijelaskan dalam surat Al-A’raf, ayat 143:

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, maka berkatalah Musa :”Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”, Tuhan berfirman : “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sedia kala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya Nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali dia berkata :” Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama- tama beriman”. (Q.S. Al A’raf 7: 143).

Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya yang berjudul Al- Misbah, menjelaskan bahwa kata “Tajalla” pada ayat di atas mengandung makna menampakkan sesuatu dengan menjauhkan faktor-faktor yang dapat menghalangi ketidaknampakannya. Maksud dari ayat ini adalah menyingkirkan sebab-sebab yang menghalangi Nabi Musa as. Melihat sesutau yang secara normal dan sesuai potensinya tidak dapat dilihatnya. Dan perlu diingat bahwa, dalam peristiwa di atas, Allah tidak bertajalli kepada Nabi Musa as. Tetapi kepada gunung, dan karena itu Nabi Musa as, bukan jatuh pingsan karena tajalli Tuhan, tetapi karena melihat gunung yang merupakan makhluk ilahi yang tegar itu hancur lebur saat mengalami tajalli. Dalam arti melihat objek tajjali (gunung) saja, beliau tidak mampu, apalagi mengalaminya sendiri.13

Menurut penjelasan ayat di atas, sejatinya maksud dari tajjali bukanlah seorang salik melihat wujud Allah Swt, dengan mata telanjang, karena hal demikian tidak akan mungkin terjadi. Sebagaimana ayat di atas, Allah melakukan tajalli ke gunung, yang dari segi jasmani lebih kuat dan tegar dari pada manusia agar nabi Musa as. lebih yakin bahwa ia benar-benar tidak akan mampu.

Al- Ghazali di dalam kitabnya yang berjudul al-Maqshad al-Asna sebagaimana dikutip Muhammad Quraish Shihab, menyatakan bahwa manusia tidak akan mampu menjangkau hakikat Allah dengan nalarnya. Ketuhanan adalah sesuatu yang hanya dimiliki Allah, tidak dapat tergambar dalam benak sesuatu yang mengenalnya kecuali Allah atau yang sama dengan-Nya, dan karena tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang mengenalnya. Benar apa yang dikatakan al-Junaidi (w. 910 M) -tulis al-Ghazali selanjutnya-bahwa: “Tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah yang Maha tinggi termulia.

Karena itu, Dia tidak menganugerahkan kepada hamba-Nya termulia, Nabi Muhammad Saw, kecuali “Nama” yang diselubungi dengan firman-Nya:

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi” (QS. Al-A’la [87]: 1).

Demi Allah tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri, di dunia dan di akhirat.”

Karena itu, menurut al-Ghazali puncak pengetahuan seorang arif tentang Allah adalah ketidak mampuan mengenal-Nya, sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi Muhammad Saw.

“Saya tidak menjangkau pujian untuk-Mu dan mencakup sifat-sifat ketuhanan-Mu hanya Engkau sendiri yang mampu untuk itu” (HR. Ahmad).14

Abdul Karim al-Kahtib menyangkut hal ini, menyatakan bahwa yang melihat Tuhan, pada hakikatnya hanya melihat-Nya melalui wujud yang terhampar di bumi serta yang terbentang di langit. Yang demikian itu adalah pandangan tidak langsung, itu pun memerlukan pandangan hati yang tajam, akal yang cerdas, dan kalbu yang bersih. Mampukah anda dengan membaca kumpulan syair seorang penyair atau mendengar gubahan seorang composer, dengan melihat lukisan pelukis atau pahatan pemahat, mampukah anda dengan melihat hasil karya seni mereka mengenal mereka, tanpa melihat mereka secara langsung?

Memang anda bisa mengenal selayang pandang tentang mereka, bahkan boleh jadi melalui imajinasi anda dapat membayangkanya sesuai kemampuan anda membaca karya seni. Namun, anda sendiri pada akhirnya akan sadar bahwa gambaran yang dilukiskan oleh imajinasi anda menyangkut para seniman itu bersifat pribadi dan merupakan ekpresi dari persaan anda sendiri. Demikian juga yang dialami orang lain yang berhubungan dengan para seniman itu, masing-masing memiliki pandangan pribadi yang berbeda dengan yang lain. Kalaupun ada yang sama, persamaan itu dalam bentuk yang umum menyangkut kekaguman dalam berbagai tingkat. Kalau demikian itu adanya dalam memandang seniman melalui karya-karya mereka, bagaimana dengan Tuhan, sedang anda adalah setetes dari ciptaan-Nya?15

Haidar Bagir dalam bukunya yang berjudul Semesta Cinta: Pengantar Kepada Pemikiran Ibnu Arabi mengatakan, bahwa bertajalli merupakan tabiat Allah. Tuhan ada, dan bersama dengan itu,  Dia  selalu  bertajalli.Tajalli  Allah  ini  terjadi  pada  level  asma(nama-nama).  Nama-nama  Allah  inilah  yang  disebut  alasma  al- husna. Setiap benda atau ciptaan apa saja seseungguhnya mewakili nama-nama Allah. Ia adalah lokus tajalli Allah. Perbedaan lokus karena perbedaan kesiapan yang terkait dengan posisi sesuatu di sepanjang martabat wujud. Sebagaimana tak terbatasnya nama-nama baik Allah itu, jumlah mazhar- pun- meski dalam beberapa kategori yang tampak terbatas; manusia, hewan, tumbuhan, mineral, juga tak terbatas, yakni masing-masing kategori itu mencakup berbagai jenis yang jumlahnya tak terbatas. Masing masing merupakan tajalli spesifik dan tertentu Allah.

Tajalli Allah tidak hanya mencakup sesuatu yang bersifat fisik saja, tapi mencakup apa saja, seperti budaya, perbedaan keagamaan, dan sebagainya. Itu semua merupakan tajalli khas yang mewakili eksistensinya. Kesempurnaan Allah terbatas dalam keterbatasan tajalli-Nya dalam setiap ciptaan fisik maupun bukan. Dan semua ciptaan Allah itu berjiwa sebagaimana diungkapkan dengaan penyebutan “bertasbih” dalam firman Allah SWT,

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun. (QS Al-Isra’ [17]: 44)

Dari semua tajalli-Nya yang paling sempurna adalah dalam diri manusia. Manusia memiliki potensi dan kesiapan untuk menampung tajalli seluruh sifat-sifat atau nama-nama Allah, karena manusia diciptakan atas dasar fitrah-Nya.Dan di dalam dirinya terkandung bagian ruh-Nya. Dan yang paling bisa mengaktualkan potensi ini adalah para Nabi dan wali.Pada puncaknya adalah Nabi Muhannad saw. Oleh Ibnu Arabi disebut manusia sempurna, manusia universal, insan kamil, yang didalam dirinya tercakup semua sifat, asma’, atau akhlak Allah. Manusia sempurna adalah cermin Allah, sekaligus model alam semesta (makrokosmos, al am kabir).16

Dari penjelasan di atas, mengenai arti tajalli, dapat ditarik benang merah bahwa yang dimaksud dengan tajalli adalah tampaknya asma’ dan sifat-sifat Allah di dalam diri seorang salik yang telah mencapai predikat insan kamil yang memerankan tugas sebagai khalifah Allah atau wakil Allah di muka bumi.

Referensi:

1Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir, Cetakan 25, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), 206.

2Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Edisi revisi, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2007), 240.

3Ismail Ihsan, Tasawuf: Jalan Rumpul Menuju Allah, jurnal An-Nuha, Vol. 1, No. 1, (Juli 2014).

4M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf,        Cetakan III, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 180.

5Sulaiman Al-Kumayi, Pemikiran Tasawuf Panglima Utar: Muhtar Ibn abd Al-Rahim, Cetakan I, (Inisma Press, 2006), 99.

6Bahrun Rif’i, Filsafat Tasawuf, Cetakan I, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 330.

7Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Edisi revisi, (Surabaya: PT Bina ilmu, 2007), 141.

8M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Cetakan III, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 166.

9Harun Nasution, Falsafah dan Mistisiseme dalam Islam, Cetakan 12, (Jakarta: bulan Bintang, 2010), 71.

10Bahrun Rif’I, Filsafat Tasawuf, 97.

11Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Cetakan I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 147.

12Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, 161.

13Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Cetakan V, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), 290-291.

14Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 288.

15Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 289.

16Haidar Bagir l,Semesta Cinta: Pengantar Kepada Pemikiran Ibnu Arabi, Cetakan I, (Bandung: Mizan, 2015), 214-219.

Related Posts

Leave a comment

You must login to add a new comment.