Insan kamil adalah nama yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk menamakan seorang yang telah sampai pada maqam tertinggi. Menurut Ibnu Arabi, manusia adalah tempat tajalli Allah yang paling sempurna, karena manusia adalah al-kaun al-Jami’ atau merupakan sentral wujud, yaitu mikrokosmos yang tercermin padanya sifat-sifat ketuhanan. Karena itu, manusia diangkat sebagai khalifah. Pada manusia terhimpun rupa Tuhan dan rupa alam semesta. Manusia adalah perwujudan Tuhan dengan segala sifat dan asma’-Nya. Dan dia adalah cermin dimana Tuhan menampakkan diri-Nya.
Menurut Ibnu Arabi, masalah insan kamil tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan Nur Muhammad. Dia adalah esensi kehidupan awal manusia, sementara Muhammad adalah insan kamil yang paling sempurna, atau sering disebut al-haqiqah al-Muhammadiyah.1
Sementara menurut Al-Jilli, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, sebagaimana tergambar dalam hadit: “ Allah menciptkan Adam dalam bentuk yang Maharahman” dan hadits: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.”.
Nama-nama dan sifat-sifat ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai kemestian yang inheren esensinya. Sebab, sifat-sifat tersebut tidak memiliki tempat berwujud melainkan kepada insan kamil. Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin dimana seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya, kecuali melalui cermin itu. Demikian pula halnya dengan insan kamil, dia tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak bisa melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil.2
Menurutnya, duplikasi al-kamal dilimiliki oleh semua manusia, bagaikan cermin yang saling berhadap-hadapan. al-kamal dalam konsep al-Jilli mungkin dimiliki oleh semua manusia secara potensial (bi al-quwwah) dan mungkin pula secara aktual (bi fi’li), seperti yang terdapat diri para Nabi dan wali-wali Allah, meskipun intensitasnya berbeda-beda. Intensitas al-akmal adalah Nabi Muhammad Saw., sehingga manusia lain, baik para Nabi maupun para wali bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil dengan al-akmal atau al-fad il dengan al-afdal3.
Insan kamil bagi al-Jilli, merupakan poros tempat beredarnya segala sesuatu yang wujud dari awal sampai akhir. Dia adalah satu (wahid) sejak wujud dan untuk selamanya. Selain itu, insan kamil dapat menampakkan diri dalam berbagai macam atau bentuk. Dalam hal ini, Al-jilli memberi penghargaan yang sangat tinggi kepada nabi Muhammad Saw., sebagai insan kamil yang paling sempurna. Walaupun ia telah wafat, tapi Nurnya tetap abadi dan mengambil bentuk pada diri orang-orang yang masih hidup. Ketika Nur Muhammad mengambil bentuk menampakkan diri pada seseorang, maka ia dipanggil dengan nama yang sesuai dengan bentuknya.4
Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi untuk menuju insan kamil, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah:
1. Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
2. Iman yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.
3. Al-salah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah Ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan mentaati syariat Tuhan dengan baik.
4. Ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek (asar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwid, rida, dan ikhlas.
5. Syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi kedalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluk-Nya secar ‘ainul yaqin. Ini adalah yang paling tinggi.
6. Siddiqiyah, Istilah ini mengagambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, sampai haqu al-yaqin. Menurut al-Jilli seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya.
7. Qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang dapat menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.5
Konsep insan kamil menurut Ibnu Arabi dan al-Jilli, tidak semua manusia menyandang gelar ini. Manusia yang tidak mencampai tingkat kesejatiannya, seperti manusia yang didekte hawa nafsunya, sehingga meninggalkan keluhuran dirinya, tidak layak disebut insan kamil. Hanyalah mereka yang telah menyempurnakan syariat dan makrifatnya benar yang layak disebut insan kamil. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan lebih tepat disebut binatang meyerupai manusia dan tidak layak memperoleh tugas kekhalifahan. Kesempurnaan manusia tidak terletak pada kekuatan akal yang dimilikinya, tapi pada kesempurnaan dirinya sebagai lokus penjelmaan diri (Tajalli Tuhan).6
Menurut Murtadha Muthahari, perjalanan Insan kamil terbagi menjadi empat;
- Perjalanan manusia dari diri menuju Tuhan,
- Perjalanan manusia bersama Tuhan dalam Tuhan, umtuk mengenalnya,
- Perjalanan manusia bersama Tuhan menuju makhluknya,
- Perjalanan manusia bersama Tuhan di antara makhluk-Nya untuk menyelamatkan mereka.7
Dari apa yang disampaikan Murtadha Muthahari, seorang yang telah sampai pada Insan Kamil pada akhirnya ia harus terjun di masyarakat untuk menyelamatkan mereka dari berbagai kesesatan dan dosa. Bukan berdiam diri di singga sana menikmati kesendirian dan kesepian yang pasif dan tidak produktif. Mengapa harus dimulai dari Allah dan berakhir bersama Allah menuju makhluk, karena jika perjalanan manusia hanya dari makhluk menuju Allah saja, maka seorang salik tidak akan mengenal manusia. Begitu juga manusia, tanpa menuju Allah, langsung terjun ke masyarakat, maka hasilnya akan seperti yang ditawarkan paham-paham materealis. Sebab, mereka yang dapat menyelamatkan manusia adalah orang-orang yang sudah berhasil menyelamatkan dirinya terlebih dahulu.8
Dalam konteks inilah insan kamil memiliki tanggung jawab sebagai khalihaf Allah di bumi yang harus aktif dan memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan kehidupan manusia dan alam semesta.
Sebagaiamana disampaikan oleh Ali Syari’ati, bahwa manusia ideal adalah khalihaf Allah yang lebih memahami Allah. Ia harus hidup dan bergerak di tengah-tengah alam dan memperjuangkan umat manusia. Dia tidak meninggalkan alam daan mengabaikan umat manusia. Dia adalah manusia jihad dan ijtihad, manusia sya’ir dan pedang. Dia adalah manusia yang menyatukan semua dimensi kemanusiaan sejati. Dia merasa sempurna bukan karena dia berhasil menjalin hubungan pribadi dengan Allah, dengan mengenyampingkan manusia, melainkan dalam perjuangan untuk kesempurnaan umat manusia, dalam derita kesukaran, lapar, kemelaratan, dan siksaaan demi kebebasan, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, dalam gejolak api perjuangan, intelektual dan sosial. Di situlah dia menemukan kesalihan, kesempurnaan dan keakraban dengan Allah.9
Menurut kiayi Sahal Mahfudh, seorang sufi hakikatnya adalah sebagai khalifah Allah di muka bumi yang mengemban tugas sebagai manajer yang memiliki tanggungjawab mengelola dan meramaikan bumi dengan satu sistem kehidupan yang baik dan sesuai dengan ketetapan Allah (sunnatullah). Untuk mampu mengelola bumi dengan baik, maka menganugrahi manusiaa dengan dua kekuatan, yaitu kemampuan berfikir dan kemampuan fisik. Karena itu, tugas manusia termasuk seorang sufi adalah beribadah kepada Allah, baik yang berdimensi individual, maupun yang berdimensi sosial. Semua tindakan dilakukan manusia yang mencakup dua dimensi tersebut harus diorientasikan untuk tujuan ibadah kepada Allah. Manusia diberi tanggung jawab untuk membangun dan mengelola bumi dan seisinya („imaratu al-Ard), bukan sebaliknya merusak bumi hanya untuk memenuhi kepentingan duniawi dan memuaskan keinginan hawa nafsunya. Tanggungjawab dalam memakmurkan bumi didasarkan pada QS. Hud: 61 yang berbunyi:
“….Dia (Allah) yang menghidupkan kamu di bumi dan memberi kamu kekuasaan memakmurkannya”.
Pengertian Isti’mar dapat disebut sebagai konsep pembangunan karena di dalamnya terkadung usaha mencapai kehidupan yang lebih baik dan maju. Dengan demikian, sufisme dalam pandangan Kiayi Sahal Mahfudh adalah suatu prinsip atau kaidah, nilai dan semangat ruhaniyah yang mendasari segala aktifitas baik dalam beribadah, maupun dalam bekerja.10
Hal senada juga dikemukakan oleh Muhammad Iqbal sebagaimana dikutip oleh Zubaidi. Menurut pandangan sufismenya, manusia adalah makhluk bio-dimensional (dua dimensi), di satu sisi dengan seluruh kreativitasnya hendak membangun kerajaan bumi sekaligus di sisi lain mampu menyatu dengan Realitas Mutlak. Karena itu, mereka harus memperkuat kepribadiannya sebagai makhluk kreatif untuk selalu mengadakan interaksi dengan alam sekitarnya dengan bekal ilmu pengetahuan sebagai potensi unggulan manusia.
Lebih jauh Iqbal mengatakan, bahwa manusia tidak hanya sebagai khalifah Allah, tapi lebih dari itu mereka berperan sebagai “teman kerja” (co-worker) Tuhan dalam mengelola bumi. Manusia mampu berbuat demikian karena mereka adalah makhluk superior atas alam, berkemampuan memikul amanat ini, makhluk kreatif dalam menciptakan dan dinamis dalam gerak maju menuju keadaan yang lebih sempurna.11
Karena itu, menurut Iqbal insane kamil atau Mardi-i-khuda adalah insane penaka Tuhan atau sebagai teman kerja Tuhan di bumi. Secara dialektis manusia mampu menyelesaikan ciptaan Allah yang belum selesai. Tuhan menciptakan bahan baku, manusia mengolahnya menjadi barang konsumtif. Contoh tuhan mencipta gurun pasir dan padang sahara, manusia membuat taman dan kebun anggur. Insan kamil adalah manusia yang telah mampu menyerap dan membumikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya. Manusia telah mendapat kehampiran-Nya. Kehampiran Tuhan padanya tidak menjadikan fanak. Kesadaran dirinya tidak luluh kedalam kesadaran Tuhan, melainkan tetap mempunyai kesadaran yang utuh, karenanya ia mampu menjelaskan indikasi-indikasi kehampirannya secara analogis rasional. Jadi, corak tasawuf adalah rasional transidental, jumbuh konsep teori ilmunya yang mengakui kebenaran empirik rasionalistik dan ilahiyah.12
Bagi Fazlurrahman, seorang sufi harus dinamis dan aktif dalam menjalani kehidupan. Rahman tidak bisa menerima sufi yang bersikap negatif kepada dunia karena berdasarkan hadits “Tidak ada kependetaan dalam Islam” dan “Kependetaan dalam Islam itu adalah jihad”. Pesimisme, sinisme dan isolasionisme terhadap dunia jauh dari ajaran al-Quran, sebab hal utama dalam al-Quran adalah implementasi aktual dari cita-cita moral secara realistis dalam suatu konteks sosial. Menurutnya, sikap isolasi terhadap duniawi bertentangan dengan realitas bahwa antara individu dengan masyarakat memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Tidak ada individu tanpa masyarakat dan sebaliknya, tidak ada masyarakat tanpa individu. Karena itu, tujuan utama al-Quran adalah tegaknya sebuah tatanan sosial yang bermoral, adil dan dapat bertahan di muka bumi. Konsep takwa yang menjadi pesan al-Quran juga hanya memiliki arti dalam sebuah konteks sosial, tidak dalam konteks individual.13
Dalam konteks inilah menurut Ibnu Arabi sebagaimana dijelaskan oleh Haidar Baqir, tujuan tasawuf adalah mencapai predikat insan kamil, yaitu dengan meniru atau mengaktualkan potensi akhlak Allah yang ada di dalam diri kita menjadikannya akhlak kita. Berakhlak dengan akhlak Allah berarti indentik dengan menanamkan asma’ atau sifat Allah di dalam diri kita. Dengan kata lain menjadikan akhlak kita berakar pada akhlak-Nya.
Menurut Ibnu Arabi, yang dimaksud asma’ di sini adalah al–Asma’ al-Husna Allah yang terdapat di dalam Al-Quran yang berjumlah 83, bukan 99. Sebenarnya, asma’ Allah tidak terbatas jumlahnya, sejalan dengan ketakterbatasan wujud dan tajalliat -Nya dalam ciptaan (af’al ). Ibnu Arabi mengambil tamtsil cahaya. Pada dasarnya, cahaya berwarna putih, tapi jika diurai, ia memiliki 7 unsur warna utama. Lebih jauh dari itu, setiap unsur warna dapat diuraikan lebih lanjut ke unsur- unsur yang lebih banyak. Begitu seterusnya, hingga tidak terbatas. 14
Secara lebih jelas, al-Jilli menyampaikan proses seorang salik menjadi insan kamil. Ia menyatakan, jika seseorang ingin mencapai tingkatan insan kamil, maka harus melakukan pendakian atau yang disebut dengan taraqqi melalui tiga tahapan, yaitu bidayah, tawassut, dan khitam.
Pada tahapan bidayah, seorang sufi disinari oleh nama-nama Tuhan/Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang, dan sebagainya. Pada tingkatan ini, seorang sufi mengalami tajalli fi al–asma’ (bermeditasi tentang nama-nama Tuhan).
Pada tahapan tawassut, seorang sufi disinari oleh sifat- sifat Tuhan, seperti Hayat , Ilmu, Qudrat, dan sebagainya. Tuhan ber- tajalli pada sufi dalam tingkatan ini dengan sifat-sifat-Nya, seorang sufi melangkah masuk ke dalam suasana sifat-sifat Tuhan, dan di sini mulai ambil bagian dalam sifat-sifat-Nya.
Pada tahapan Khitam, seorang sufi disinari zat Tuhan. Dalam diri sufi, Tuhan ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkatan inilah seorang sufi menjadi insan kamil. Ia menjadi manusia sempurna, yang memiliki sifat ketuhanan dan di dalam dirinya terdapat bentuk atau surah Tuhan. Dia menjadi bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara Tuhan dengan manusia.15
Di samping seorang sufi melakukan pendakian, menurut al- Jilli ia juga harus mengalami tanazzul (turun). Dalam pengalaman al- Jilli proses tanazzul Tuhan mengambil tiga tahap yaitu ahadiyah, huwiyah dan aniyah. Pada tahap ahadiyah,Tuhan dalam keabsolutan- Nya baru keluar dari al-‘ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiyah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya. 16
Dari apa yang telah dijelaskan dapat disimpulkan, bahwa bertasawuf sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Arabi dan al-Jilli adalah proses mengaktualkan potensi akhlak Allah yang di dalam diri kita, dan menjadikannya akhlak kita. Berakhlak dengan akhlak Allah identik dengan menanamkan asma’ atau sifat-Nya di dalam diri kita. Dengan kata lain, menjadikan akhlak kita berakar pada akhlak-Nya. Kesamaan kata khulq (bentuk tunggal dari akhlaq) dengan kata khalq (ciptaan) menunjukkan bahwa sesungguhnya potensi akhlak Tuhan sudah tertanam dan menjadi bawaan (fitrah) manusia, walaupun masih potensial. 17
Selain seorang salik melakukan pendakian (taraqqi) ia juga harus juga melakukan penurunan (tanazzul ), yaitu kembali ke bumi menjadi khalifah Allah.
Sebagaiamana telah dijelaskan, menurut al-Jilli, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, sebagaimana termaktub dalam hadits berikut:
“Allah menciptakan Adam dalam bentuk Yang Maha Rahman.”
Hadits lain berbunyi:
“Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.”
Melalui konsep insan kamil ini, dapat dipahami, bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaanya. Karena di dalam dirinya ada sifat-sifat ketuhanan. Karena itu, manusia memiliki sifat-sifat sebagaimana yang dimiliki Allah, seperti hidup, pandai, mampu, berkehendak, mendengar, dan sebagainya.18
Dalam mengukur kebenaran, tasawuf sosial menggunakan pengembangan dan penerapan asma’ al-Husna, sebagai konsekuensi seorang sufi sekaligus wakil Allah di bumi. Ibnu Ajibah al-Husaini menjelaskan, bahwa untuk menuju berakhlak seperti akhlak Allah, seseorang harus melewati tiga tingkatan, yaitu ta’alluq, takhalluq, dan tahaqquq.
Pertama, ta’aluq pada Tuhan, yaitu berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kepada Allah. Seorang sufi tidak boleh lepas berfikir dan berdzikir untuk Tuhannya, sebagaimana dalam firman Allah SWT
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (QS 3:191).
Pada tahapan ini asma’ al-Husana diulang-ulang sebagai bacaan, doa, dan dzikir.
Kedua, Takhalluq. Pada tingkatan ini seorang sufi menafikan sifat-sifat ego dan menegaskan sifat-sifat Allah yang secara potensial telah ada pada diri kita. Atau dengan kata lain, takhalluq adalah membuat nama-nama Tuhan yang berbentuk potensial dalam diri kita menjadi aktual.
Ketiga, Tahaqquq, yaitu suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran seorang sufi yang dirinya telah didominasi sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakukanya yang suci dan mulia.19
Konsep ta’alluq, takhalluq dan tahaqquq di atas senada dengan teori internalisasi, eksternalisasi dan objektivikasi. Ketiga konsep toretis tersebut menjadi komponen yang saling bergerak secara dialektis. Berger dan Luckmana menggunakan ketiga istilah tersebut untuk mengambarkan hubungan timbal balik antara masyarakat dan individu. Ekternalisasi menunjuk pada kegiatan kreatif manusia, ojektivikasi menunjuk pada proses di mana hasil-hasil aktivitas kreatif tadi mengkonfrontasi individu sebagai kenyataan objekti, dan internalisasi menunjuk pada proses dimana kenyataan eksternal itu menjadi bagian dari subjektif individu.
Sebagaimana disampaikan Fathurin Zen, mengutip pendapat Kuntowijoyo, mengilustrasikan hubungan ketiga terminologi” eksternalisasi – objektivikasi-internalisasi” pada kesadaran orang islam dalam membayar zakat, di mana membayar zakat merupakan suatu kewajiban agama yang muncul secara internal setelah adanya keyakinan tentang perlunya harta di bersihkan, keyakinan bahwa harta bukan hanya milik yang mendapatkannya, dan keyakinan bahwa sebagian rezeki itu harus dinafkahkan. Kalau kemudian orang itu menafkahkan (memberikan) sebagian hartanya kepada orang lain yang memerlukan, maka hal itu di sebut eksternalisasi. Jadi, eksternalisasi dalam hal ini adalah ibadah. Sedangkan objektivikasi merupakan bentuk konkret dari internalisasi dengan tambahan bahwa hasil objektivikasi tersebut berlaku dan bermanfaat secara umum. Artinya, dalam hal orang mengeluarkan zakat tadi, manfaat dari perbuataan itu juga di rasakan oleh orang lain sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), bukan sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi pihak yang membayar zakat, boleh jadi perbuataan itu tetap dianggap sebagai perbuataan keagamaan yang termasuk amal saleh. Sebaliknya, objektivikasi juga bisa di lakukan oleh mereka yang nonmuslim, asalkan manfaat dari perbuataan itu juga dapat dirasakan oleh orang Islam sebagai sesuatu yang objektif, sementara orang nonmuslim dipersilakan menganggapnya sebagai perbuataan keagamaan. Selanjutnya, internalisasi dari perbuatan” membantu orang lain” tadi menjadi bagian dari kesadaraan subjektif individu.20
Dalam konteks asma’ al–husna, internalisasi asma’-asma’ Allah dalam diri seseorang lahir dari keharusan seorang muslim mencontoh akhlak Allah sebagai suatu perintah agama, agar ia bisa sampai pada tingkatan kedekatan dengan Allah Swt. Sedangkan eksternalisasi, ketika seseorang telah mampu berakhlak sesuai akhlak Allah. Sedangkan objektifikasi adalah bentuk konkrit dari internalisasi dan memiliki nilai kemanfaatan dan kemaslahatan bagi umum. Artinya, ketika seseorang telah mampu berakhlak sesuai akhlak Allah Swt., maka manfaat dari perbuataan itu juga di rasakan oleh orang lain sebagai sesuatu yang natural, bukan sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi pihak pelaku, boleh jadi perbuataan itu tetap dianggap sebagai perbuataan keagamaan yang termasuk amal saleh. Sebaliknya, objektivikasi juga bisa di lakukan oleh mereka yang nonmuslim, asalkan manfaat dari perbuataan itu juga dapat dirasakan oleh orang Islam sebagai sesuatu yang objektif, sementara orang nonmuslim dipersilakan menganggapnya sebagai perbuataan keagamaan. Selanjutnya, internalisasi dari ” aktualisasi asma‘ Allah Swt.,” tadi menjadi bagian dari kesadaraan subjektif individu.
Nilai-nilai sosial yang bersumber dari asma’ al-Husna yang harus diaktualisasikan oleh seorang salik adalah sebagaimana telah dirumuskan oleh Laleh Bakhtiar dalam bukunya yang berjudul Meneladani Akhlak Allah, sebagaimana berikut:21
Tabel DAFTAR AL-ASMA’ AL-HUSNA
NO | NAMA ALLAH | TEOETIKA | PSIKOETIKA | SOSIOETIKA |
22 | Maha Merendahkan (Ciptaan) | Merendahkan orang kafir dengan kesialan memisahkan dari- Nya |
Harapan / Rasa Takut | Merendahkan idol/ ego dalam hubungan dengan sesama |
69 | Mahakuasa (Diri) | Kekuasaan berasal kehendak dan pengetahuan, menjadikan segala hal, menciptakan segala hal sendiri tanpa bantuan
makhluk lain |
Kesatuan/ Integritas | Memperkuat diri dan sesama untuk meraih kesatuan dalam hubungan mereka |
26 | Maha Mendengar (Diri) | Tak ada yang lolos dari Yang Maha
Mendengar, termasuk kesunyian. |
Introspeksi | Menjaga dari gosip; mendengarkan firman Allah |
27 | Maha Melihat (Diri) | Memperhatikan dan mengamati segala hal | Introspeksi | Merasakan kehadiran Yang Maha Melihat dalam hubungan
dengan sesama |
57 | Maha Pencatat (Ciptaan) | Menganalisis,
menghitung, dan mencatat kuantitas |
Ketakwaan | Menegur jiwa dalam hubungan sesama |
28 | Maha Menetapkan Hukum (Diri) | Tak ada yang membatalkan atau memperbaiki keputusan Allah; menyusun penyebab pada akibat; perintah Ilahiah
(penyebab) dan |
Introspeksi | Memelihara kebenaran dan keadilan dalam hubungan |
takdir (akibat) | ||||
81 | Maha Penyiksa (kemanusiaan) | Mematahkan punggung yang takabur; menghukum penjahat; meningkatkan hukuman orang zalim |
Tobat | Membalas dendam terhadap musuh-musuh Allah |
31 | Maha Mengetahui (Diri) | Tak ada kandungan tak sadar bersembunyi tanpa sepengetahuan Yang Maha
Mengetahui |
Introspeksi | Membina kesadaran dan pengetahuan dalam hubungan dengan sesama |
58 | Maha Memulai (Ciptaan) | Memulai Ciptaan | Titik Tengah | Memahami permulaan |
16 | Maha Pemberi (Kemanusiaan) | Memberi dengan bebas tanpa kompensasi atau bunga | Kepatutan Moral | Memberi yang baik kepada sesama yang membutuhkan dan patut tanpa memikirkan pamrih atau
kepentingan sendiri. |
83 | Maha Pengasih (Kemanusiaan) | Allah memiliki kasih sebagai penguatan rahmat- Nya |
Kesabaran | Kasih yang kuat bagi sesama |
2 | Maha Penyayang
(Kemanusiaan) |
Menyayangi orang- orang beriman | Kebaikan | Menyayangi orang-orang
beriman |
9 | Maha Memaksa (Ciptaan) | Kekuatan kehendak- Nya efektif atas segala hal; memaksa naluri mengajak ke arah positif dan mencoba mencegah perkembangan yang negatif |
Tekad, Penyerahan Diri | Menegakkan Kehendak Allah |
34 | Memaafkan dan | Kepatutan Moral | Menyembunyik |
Maha Pengampun (Kemanusiaan) | menyembunyikan
kesalahan dari dunia tersembunyi. |
an kesalahan orang lain | ||
20 | Maha Menyempitkan (Ciptaan) |
Mencabut nyawa pada saat kematian; menahan rezeki | Harapan/ Rasa Takut | Berdoa meminta kesabaran |
92 | Maha Pemberi Manfaat (Ciptaan) | Penyebab sekunder
dari hal-hal yang bermanfaat |
Pengendalian Diri | Bermanfaat bagi orang lain |
1 | Maha Pencipta (Ciptaan) | Menciptakan | Tekad, Pencerahan Diri | Membayangkan kemungkinan
sesuatu |
25 | Maha Menghinakan (Ciptaan) | Memberi penghinaan pada Hari Kebangkitan | Harapan/ Rasa Takut | Memberi penghinaan pada musuh Allah |
89 | Maha Pemberi Kekayaan (Umat manusia) | Menyediakan segala hal yang di butuhkan bagi semua orang | Kesabaran | Memberikan yang di butuhkan kepada orang yang
membutuhkan |
86 | Maha Mengadili (Ciptaan) | Bertindak dan memberi keadilan kepada orang yang
disalahi |
Kesederhanaan Spiritual/ Alturisme | Melihat segala hal dengan ukuran dan cara yang adil |
68 | Maha Dibutuhkan (Diri) | Memenuhi kebutuhan dengan sesuai; memuaskan dengan cara yang patut, bukan dengan
cara yang diinginkan |
Kesatuan/ Integritas | Menjadi teladan bagi sesama dengan mendidik mereka |
96 | Maha Kekal (Diri) | Diterapkan hanya pada Allah Yang di luar waktu | Zikir | Mengkekalkan hubungan kita jika di bentuk sebagai bentuk ibadah demi
Allah semata |
78 | Maha Tinggi (Diri) | Tertinngi dalam bentuk intensif; tidak ada cacat penuaan | Zikir | Memahami tanda-tanda lahiriah dan batiniah dalam hubungan dengan sesama |
23 | Meniggikan orang | Harapan/ Rasa | Bersyukur saat |
Maha Meninggikan (Ciptaan) | beriman dengan nasib baik;
mendekatkan mereka kepada-Nya |
Takut | dalam keadaan lapang, bahagia | |
21 | Maha Melapangkan (Ciptaan) | Memberikan ruh di saat awal; memperbanyak amal-karunia, kebaikan, keindahan |
Harapan/ Rasa Takut | Bersyukur saat dalam keadaan lapang, bahagia |
6 | Maha Pemelihara Keamanan (Kemanusiaan) | Memberikan keselamatan dan keamanan menghadang jalan ketakutan terhadap hal-hal selain Allah | Kebaikan | Berlindung Yang Maha Pemelihara Keamanan dari rasa takut, stres, dan sakit yang mengiringi hilangnya idol/
ego kita |
54 | Maha Kukuh (Diri) | Intesitas kekuatan- tak dapat selamat dari-Nya atau melawan-Nya | Keridhaan | Membina penerimaan penguatan dalam hubungan dengan sesama untuk bekerja menuju kesembuhan
jiwa |
73 | Maha Awal (Diri) | Yang pertama | Ketulusan | Yang pertama beribadah supaya orang lain belajar dari teladan tersebut |
5 | Maha Sejahtera (Diri) | Tidak memiliki kecacatan | Aspirasi | Mengembangka n pandangan yang sehat mengenai sesama, setelah menghilangkan sikap negatif
terhadap mereka |
32 | Maha Penyantun (Kemanusiaan) | Tidak menujukkan marah atau murka saat menyaksikan ketidakpatuhan; tidak bertindak terburu-buru | Kepatutan Moral | Membutuhkan disiplin diri untuk maju ke arah penyembuhan moral diri dan
sesama |
14 | Maha Pengampun (Kemanusiaan) | Menjelma kemuliaan; menyembunyikan aib | Kebaikan | Menyembunyik an kesalahan teman dari orang lain; memaaflkan
orang yang bersalah |
55 | Maha Melindungi (Kemanusiaan) | Membantu manusia; Allah menaklukan musuh-Nya dan membantu teman-
Nya |
Tawakal | Menjalin persahabatan dengan sahabat Allah |
87 | Maha Mengumpulkan (Ciptaan) | Menggabungkan yang sama, yang berbeda; yang berlawanan | Kesederhanaan Spiritual/ Altruisme | Mengumpulkan perilaku terhadap sesama dan kebenaran di dalam hati |
42 | Maha Dermawan (Kemanusiaan) | Memaafkan meskipun dapat menghukum; menepati janji dan melampaui orang
lain dalam memberi |
Syukur | Menunjukkan kemurahan hati terhadap sesama |
48 | Maha mulia (Diri) | Mulia dalam zat; indah dalam tindakan; murah hati dalam pemberian | Kejujuran | Mencari zat mulia; mengembangka n kebaikan tindakan dan kemurahan hati dalam memberi kepada orang yang
membutuhkan |
79 | Maha Berkebajikan (Diri) | Menghukum hanya tindakan yang di lakukan; memberi pahala berkali lipat untuk kebaikan |
Zikir | Menjadi orang yang berbuat kebajikan di antara manusia |
77 | Maha Memerintah (Ciptaan) | Merencanakan urusan penciptaan dan
mengendalikannya |
Kesedarhanaan Spiritual/ Altuurisme | Memerintah sesama menurut perintah Allah |
37 | Mahabesar (Diri) | Sempurna zat-Nya, kekal masa lalu dan masa datang dan semua yang ada
berasal dari-Nya; |
Kejujuran | Kesempurnaan manusia adalah akal budi, takwa, pengetahuan |
sempurna dan besar | tentang Allah | |||
7 | Maha Memelihara (Kemanusiaan) | Membimbing ke pengetahuan tentang ciptaan dan hal-hal
yang baik bagi manusia |
Kesabaran | Membimbing diri dan sesama menuju pengetahuan |
94 | Maha Pemberi Petunjuk (Kemanusiaan) | Membimbing ke pengetahuan tentang ciptaan dan hal-hal yang baik bagi manusia |
Kesabaran | Membimbing diri dan sesama menuju pengetahuan |
76 | Maha Tersembunyi (Diri) | Tersembunyi | Ketulusan | Mengundang sesama ke kesempurnaan
spiritual |
36 | Maha Tinggi (Diri) | Tak ada yang tingkatnya lebih tinggi daripada-Nya | Kejujuran | Sedikit-banyak terpisah dan terputus sehingga ada objektifitas dalam hubungan; mendukung dan membantu sesama demi
Allah semata |
4 | Maha Suci (Diri) | Tanpa cacat, kekurangan, kelemahan; di atas yang terlihat oleh persepsi |
Aspirasi | Menyucikan hati dari prasangka dan Stereotipe
sesama |
24 | Maha Memuliakan (Ciptaan) | Allah memberi kuasa kepada orang yang mengenali kehadiran-Nya; memberi kenyamanan supaya manusia tak membutuhkan; menyediakan kekuatan dan dukungan untuk mengendalikan watak; memuliakan
di Akhirat |
Harapan/ Rasa Takut | Mengangkat teman ke posisi mulia |
8 | Mahaperkasa (Diri) |
Perkasa dalam
kepentingan, |
Aspirasi | Mencari
kemenangan |
kegunaan, tak dapat di akses | atas kekuatan yang memisahkan kita dari teman; mengendalikan kekuatan ini dalam hubungan kita supaya
hubungan menjadi perkasa |
|||
97 | Maha Mewarisi (Ciptaan) | Kepemilikan kembali kepada Maha Mewarisi setelah matinya pemilik yang
sementara |
Pengendalian Diri | Menyadari bahwa segala sesuatu adalah milik Allah |
29 | Maha Adil (Diri) | Tak ada kesalahan dalam ciptaan;simetri yang mengagumkan dan susunan sistematis | Introspeksi | Berdoa meminta pengetahuan intuitif yang tak dapat di pelajari dari sumber manusiawi |
84 | Maha Menguasai Kerajaan (Ciptaan) | Melaksanakan kehendak Allah; menjadikan memusnahkan, mengekalkan,
menghilangkan |
Kesederhanaan spiritual/ Altruisme | Memerintah sebagai khalifah Allah |
19 | Maha Mengetahui (Diri) | Mengetahui yang tersembunyi dan yang nyata; kecil dan besar; sebelum dan sesudah | Introspeksi | Berdoa meminta pengetahuan intuitif yang tak dapat dipelajari dari sumber
manusiawi |
74 | Maha Akhir (Diri) | Yang terakhir | Ketulusan | Selalu mengingat akhir dan kembalinya kepada Allah |
60 | Maha Menghidupkan (Ciptaan) | Menghidupkan makhluk | Titik Tengah | Kembali ke fitrah dengan menyingkirkan
nafsu duniawi |
93 | Maha Bercahaya (Diri) | Keberadaan cahaya | Zikir | Memberikan cahaya kepada diri dan sesama |
62 | Bertindak dan | Keridaan | Kehidupan kita |
Maha Hidup (Diri) | melihat tak ada hal terlihat yang lolos dari pengetahuan Allah dan tak ada tindakan yang lolos dari tindakan Allah | dalam hubungan dengan sesama ditentukan oleh persepsi kita dan motivasi kita untuk bertindak |
||
85 | Maha Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan (Diri) | Semua kebesaran dan kemuliaan adalah milik Allah; kepribadian,
kemuliaan |
Zikir | Bertalian erat satu sama lain melalui kebutuhan |
47 | Maha Pencinta (Kemanusiaan) | Menginginkan yang baik bagi manusia; memuji dan memberi pahala kepada orang yang beriman; tidak memerlukan kebutuhan kita; rahmat dan kasih melampaui batasan
pemahaman manusia |
Kejujuran | Menginginkan untuk sesama hal yang di inginkan untuk sendiri |
33 | Maha Agung (Diri) | Yang inti sifat sejatinya tak tertangkap sempurna oleh akal manusia; melampaui batasan pemahaman manusia | Kejujuran | Mengembangka n kebesaran batiniah, keagungan, dan kekuatan dalam hubungan dengan sesama; mematikan jiwa palsu |
39 | Maha Memelihara (Kemanusiaan) | Memberi gizi melalui makanan untuk memelihara hidup; membutuhkan
pengetahuan dan kekuatan |
Syukur | Membantu memelihara sesama yang membutuhkan |
41 | Maha Luhur (Diri) | Termasuk kekuatan, dominasi, kesucian, pengetahuan, kekayaan,
kekuasaan |
Kejujuran | Jangan menyalahgunak an kekuatan dalam hubungan dengan sesama |
12 | Maha Mengadakan | Berada dalam
keserasian |
Tekad,
Penyerahan Diri |
Berupaya mencapai |
(Ciptaaan) | sempurna | keserasian sempurna dalam
hubungan dalam sesama |
||
75 | Maha Nyata (Diri) | Segala sesuatu yang nyata berasal dari Allah | Ketulusan | Mengenali yang nyatadalam hubungan dengan sesama |
1 | Maha Pemurah (Kemanusiaan) | Rahmat universal; rahmat mendahului amarah | Kebaikan | Rahmat kita mendahului amarah kita terhadap semua
ciptaan |
65 | Maha Mulia (Diri) | Kemuliaan melalui kebaikan, memuliakan, memberi pahala,melindungi hak,menyelesaikan
kesulitan |
Keridhaan | Temuka hal yang Allah ingi kita temukan dalam hubungan dengan sesama |
67 | Maha Satu (Diri) | Tak dapat dibagi mencermikan keragaman dalam kesatuan. Seperti pusat geometris, tak dapat di pisahkan atau di gandakan |
Kesatuan / Integritas | Kesatuan yang tak terbandingkan dengan apapun yang lahiriah maupun
batiniah |
18 | Maha Membuka (Kemanusiaan) | Membuka yang tertutup; menjernihkan yang buram; memberi kemenangan; mencanangkan putusan; menyingkapkan yang tersembunyi | Kepatutan Moral | Membuka simpul, menyingkirkan kesedihan dan depresi dari hati; menyingkirkan keraguan di benak dalam
hubungan dengan sesama |
95 | Maha Mencipta yang baru (Diri) | Orisinal tak ada yang mirip, menandingi, atau terbandingkan | Zikir | Ciri positif yang istimewa mengetahui, menemukan, dan membangun hal-hal yang belum pernah di ketahui |
82 | Menghapuskan dosa | Tobat | Memohon |
Maha Pemaaf (Kemanusiaan) | dan mengabaikan ketidakpatuhan | ampun dari Allah atas dosa yang di lakukan
orang lain terhadap kita |
||
99 | Maha Sabar (Kemanusiaan) | Tidak bertindak terburu-buru atau sebelum waktunya; bertindak dalam ukuran tertentu dan rencana yang pasti |
Kesabaran | Tidak bertindak
terburu-buru atau sebelum waktunya dalam hubungan sesama |
72 | Maha Mengakhirkan (Ciptaan) | Menjauhkan diri dari musuh | Ketenangan | Menyadari godaan idol/ ego |
70 | Maha Menentukan (Ciptaan) | Tak hanya menciptakan semua kekuasaan, tetapi juga
mengendalikannya |
Ketenangan | Menyucikan diri dari tamak dan iri hati |
56 | Maha Terpuji (Diri) | Keagungan, keluhuran, kesempurnaan, berkaitan dengan orang yang memuji
Allah |
Keridaan | Pikiran memuji Allah |
44 | Maha Mengabulkan (Kemanusiaan) | Mengabulkan permintaan sebelum orangnya meminta | Keawasan | Peka terhadap kebutuhan teman dan menanggapi sebelum diminta |
38 | Maha Palestari (Ciptaan) | Mengekalkan keberadaan benda yang ada, memelihara dan menjaganya dari yang menentangnya, serta menjaga dan melestarikan hamba
dari dosa |
Ketakwaan | Menjaga dan Melestarikan diri dan sesama dari bahaya secara fisik maupun spiritual |
71 | Maha Mendahulukan (Ciptaan) | Mendekatkan hamba-Nya kepada- Nya | Ketenangan | Mendoakan diri dan sesama agar maju pada jalan
spiritual |
90 | Maha Membela | Menolak hal-hal yang berbahaya; |
Pengendalian Diri | Menyediakan
kekayaan |
(Ciptaan) | melarang dan menekan | material dan spiritual untuk memuaskan kebutuhan yang membutuhkan supaya mereka dapat menolak hal-hal yang berbahaya |
||
10 | Maha Megah (Diri) | Segala sesuatu itu kurang; hanya Allah yang memilki kemegahan dan keagungan | Aspirasi | Mementingkan diri sendiri, egois, sombong, dan takabur, lemah kita bukan apa-apa di bandingkan
Allah |
17 | Maha Pemberi Rizeki (Kemanusiaan) | Menciptakan sarana rezeki serta kebutuhan dan kenikmatan akan rezeki itu; rezeki yang berdasarkan pengetahuan maupu
material |
Kepatutan Moral | Menggunakan perkataan untuk mengarahkan sesama ke jalan yang lurus |
91 | Maha Pemberi Cahaya (Ciptaan) | Penyebab sekunder dari hal-hal yang berbahaya |
Pengendalian Diri | Menderita rasa sakit dalam
hubungan kita |
40 | Maha Penghitung (Kemanusiaan) | Allah adalah penyebab kejadian, kesinambungan dan kesempurnaan | Syukur | Mengelola berkah Allah dalam hubungan dengan sesama; hidup ini hanya
sementara |
80 | Maha Penerima Tobat (Kemanusiaan) | Menerima Tobat | Tobat | Mendorong diri dan sesama untuk tobat |
64 | Maha Kaya (Diri) | Allah tak kekurangan apapun | Keridaan | Menjadi kaya dalam hubungan dengan sesama |
59 | Maha Mengulangi (Ciptaan) | Mengulangi Ciptaan | Titik Tengah | Mengingat bagi sesama tentang ciptaan terakhir
pada Hari Pembalasan |
49 | Membangkitkan | Ketakwaan | Mengajarkan |
Maha Membangkitkan (Ciptaan) | yang mati; penciptaan tahap demi tahap, menyingkap isi hati manusia | pengetahuan dan memberi kehidupan; menanam di dunia dan menuai di Akhirat; tahap- tahap penciptaan |
||
88 | Maha Kaya (Diri) | Allah tidak bergantung pada apapun untuk zat atau kualitas-Nya; kemandirian sempurna berarti
kekayaan |
Zikir | Mencari kekayaan Allah dalam hubungan dengan sesama |
98 | Maha Pandai (Ciptaan) | Allah itu pandai dan guru terbaik untuk membimbing ke jalan yang lurus dan
keselamatan |
Pengendalian Diri | Membantu mengajarkan sesama tentang jalan yang lurus |
63 | Maha Mandiri (Diri) | Allah tak membutuhkan apa- apa untuk eksis | Keridaan tekad | Melepaskan diri dari segala hal, kecuali Allah dalam hubungan dengan sesama agar lebih objektif |
13 | Maha Membentuk (Ciptaan) | Membentuk
keindahan yang unik |
Penyerahan Diri | Menciptakan
hubungan yang indah dengan sesama |
61 | Maha Mematikan (Ciptaan) | Mematikan | Titik Tengah | Mematikan idol/ ego kita supaya kita berhubungan dengan sesama
melalui hati |
3 | Maha Raja (Diri) | Allah mandiri terhadap segala sesuatu; berkuasa | Aspirasi | Mengembangka n kedaulatan atas jiwa melalui akal
dalam hubungan dengan sesama |
53 | Maha Kuat (Diri) | Kekuasaan yang sempurna; menaklukan segala |
Keridaan | Menjadi cukup kuat untuk
mengatasi |
pertentangan; kekuatan tanpa syarat | godaan duniawi dan membantu sesama untuk melakukan hal tersebut |
|||
15 | Maha Mengalahkan (Diri) | Mematahkan
punggung musuh- musuh-Nya |
Aspirasi | Menaklukan,
menghinakan, membunuh musuh lahiriah dan batiniah agar hubungan kita dengan sesama serasi |
30 | Maha Halus (Diri) | Kelembutan dalan bertindak; kehalusan dalam persepsi; mengetahui yang
gaib dan yang nyata |
Introspeksi | Lembut terhadap sesama |
35 | Maha Mensyukuri
(Kemanusiaan) |
Tak menahan pahala untuk amal baik | Syukur | Bersyukur dengan membalas kebaikan dengan kebaikan yang lain |
52 | Maha Memelihara Penyerahan (Kemanusiaan) | Segala sesuatu dis erahkan kepada Allah | Tawakal | Menjadi pengemban amanat alam |
51 | Maha Benar (Diri) | Penyebab segala sesuatu yang ada; ada dengan sendirinya, tidak berubah, tak memiliki awal
maupun akhir |
Kejujuran | Mengingat bahwa jiwa itu palsu dan hanya Allah yang benar dalam hubungan
dengan sesama |
66 | Maha Esa (Diri) | Maha Esa tak dapat di bagi-bagi; kesatuan dalam keragaman | Kesatuan/ Integritas | Menjelmakan kesempurnaan akhlak segala hal berasal dari zat Yang Maha Esa |
45 | Maha Luas (Diri) | Keluasan pengetahuan dan kemurahan hati;
pengetahuan Allah |
Kejujuran | Mengembangka n watak dan kearifan yang
ekstensif dan |
tiada berahir; melingkupi dan merangkul segala sesuatu | melingkupi segala sesuatu tanpa iri atau tamak atau takut miskin dalam
hubungan dengan sesama |
|||
43 | Maha Mengawasi (Kemanusiaan) | Mengetahui, mengamati, memperhatikan sesuatu supaya kita tidak mendekati hal
yang di larang |
Keawasan | Bersikap awas terhadap musuh batiniah dalam hubungan dengan sesama |
46 | Maha Bijaksana (Diri) | Keteraturan dalam alam semesta dan akan berlanjut sampai Hari Pembalasan | Kejujuran | Menyatakan bahwa pengetahuan luhur hanya berasal dari mengetahui Allah, dan mengingat hal ini dalam hubungan dengan sesama |
50 | Maha Menyaksikan (Kemanusiaa) | Melihat yang tampak dan tak tampak | Keawasan | Menyadari hal- hal yang tampak dan tak tampak dalam hubungan
dengan sesama |
Menurut Ibnu Arabi, di antara nama-nama Allah ada yang paling tinggi derajatnya karena mencakup semua nama-nama di bawahnya, yaitu “Rahman” (pengasih). Rahmah adalah salah satu konsep kunci yang mencirikan secara tepat sruktur pemikiran Ibnu Arabi. Rahmah sangat dekat dengan konsep cinta (mahabbah). Bagaimanapun cinta Ilahi sama dengan rahmat, dimana cinta adalah motif mendasar penciptaan alam semesta oleh Allah, sebagaimana dalam hadits:
“Aku adalah khazanah tersembunyi, dan Aku menginginkan (ahbabtu “mencintai) untuk diketahui. Maka itu Aku menciptakan segenap ciptaan dan dengan begitu Aku bisa diketahui mereka.Dan kemudian mereka mengetahui Aku.”
Dalam hadits ini, cinta adalah rahasia atau sebab penciptaan. Karena itu, cinta adalah asas semua gerakan.22
Dalam menerapkan nama-nama Allah dalam kehidupan sehari- hari harus dilakukan secara seimbang, kombinasi dan lengkap. Mengambilnya secara parsial dan tidak seimbang justru menjadikan akhlak yang berkembang bersifat maz|mumah. Misalnya, menerapkan sifat keras (qahr) dan kuasa (jabr) tanpa kasih sayang (rahmaniyah) dan keadilan („adl) akan mengakibatkan kesombongan dan kesewenang-wenangan yang menindas.23
Dalam mengaktualkan asma’ Allah dalam kehidup sehari-hari, perlu dipahami bahwa asma’-Nya terbagi menjadi dua macam, yaitu asma jalalah yang berarti kedahsyatan, keagungan, dan mencekam, serta asma’ jamaliyah yang berarti keindahan, kecantikan dan pesona. Dalam meniru akhlak Allah, kita hendaknya meniru sifat Allah yang jamal iyah, jangan yang jalaliyah. Karena dengan meniru asma Allah jamaliyah kita lebih menampakkan kelembutan dan kecintaan kepada sesama. Dengan demikian, hal ini akan mendatangkan self-motivation yang tinggi bagi etos gerak dan etos seorang muslim.24
Nilai-nilai sosioetika yang terkandung di dalam asma’ al-husna di atas sebagai alat ukur untuk perilaku seorang salik sesuai dengan tasawuf sosial atau tidak. Dan menanamkan akhlak Allah identik dengan menanamkan sifat cinta di dalam diri kita dan menjadikannya sebagai sumber setiap tindakan dan gerak kita, baik dalam berinteraksi dengan Allah, manusia, maupun dengan alam semesta.
Referensi:
1Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Cetakan I, (Jakarta: Amzah, 2012), 280.
2M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Cetakan III, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 186.
3Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Cetakan I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 155.
4Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat,156.
5Rif’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, 159.
6Nazaruddin Umar, Tasawuf Modern, Cetakan I, (Jakarta: Republika, 2014), 96.
7Murtadha Muthahari, Insan Kamil, terj. Abdillah Hamid Ba’abud, Cetakan 1, (Jakarta: Sadra Press, 2012), 79.
8Murtadha Muthahari, Insan Kamil, 80.
9Ali Syari’at, On the Sociology of Islam, terj. Ashar R W, Cetakan I, (Yogyakarta: Cakrawangsa, 2017), 166-168.
10Zubaidi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren: Kontribusi Fikih Sosial Kiayi Sahal Mahfudh, CetakanI, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 352-353.
11Zubaidi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren: Kontribusi Fikih Sosial Kiayi Sahal Mahfudh, 359.
12Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal, Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 150.
13Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Quran, terj.Anas Mahyuddin, Cetakan II, (Bandung: Pustaka, 1996), 54.
14Haidar Baqir, Semesta Cinta: Pengantar kepada Pemikiran Ibnu Arabi, Cetakan I, (Bandung: Mizan, 20515), 54-56.
15Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, 158.
16Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Cetakan III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 75.
17Haidar Baqir, Semesta Cinta: Pengantar kepada Pemikiran Ibnu Arabi, 155.
18M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, 185.
19Ibnu Ajibah al-Husaini,Tafsir al-Fatihah al-Kabir, (Dar al-Kutub al- Ilmiyah, Lebanon, ), iii.
20Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media, Cetakan I, (Yogyakarta: LkiS, 2004), 53.
21Laleh Bakhtiar, Meneladani Akhlak Allah, Cetakan I, (Bandung: Mizan, 2002), 260-271.
22Toshihiko Izutsu, Sufisme: Samudra Makrifat Ibn Arabi, Cetakan II, (Bandung: Mizan, 2016), 161.
23Haidar Baqir, Semesta Cinta: Pengantar kepada Pemikiran Ibnu Arabi, 157.
24Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Cetakan I, (Jakarta: Amzah, 2012), 78.
Leave a comment