Sign Up to our social questions and Answers Engine to ask questions, answer people’s questions, and connect with other people.
Login to our social questions & Answers Engine to ask questions answer people’s questions & connect with other people.
Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link and will create a new password via email.
Sorry, you do not have permission to ask a question, You must login to ask a question.
Please briefly explain why you feel this question should be reported.
Please briefly explain why you feel this answer should be reported.
Please briefly explain why you feel this user should be reported.
Bagaimana Hukum Merayakan Peringatan Malam Nisfu Sya’ban?
Segala puji hanyalah bagi Allah, yang telah menyempurnakan agamaNya bagi kita, dan mencukupkan ni’matNya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, pengajak ke pintu taubat dan pembawa rahmat. Amma ba’du. SesungguhnyaRead more
Segala puji hanyalah bagi Allah, yang telah menyempurnakan agamaNya bagi kita, dan mencukupkan ni’matNya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, pengajak ke pintu taubat dan pembawa rahmat. Amma ba’du.
Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nu’matKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3 ).
“Apakah mereka mempunyai sesembahan sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridloi Allah ?, sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang orang yang dhalim itu akan memperoleh azab yang pedih” ( QS. As syuro, 21 ).
Dari Aisyah, RA berkata : bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa yang mengada adakan sesuatu perbuatan ( dalam agama ) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka tidak akan diterima”.
Dan dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah bersabda :
“Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.
Dalam shoheh Muslim dari Jabir rodhiallohu ‘anhu ia berkata : bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu khutbah Jum’at nya :
“Amma ba’du : sesungguhnya sebaik baik perkataan adalah Kitab Allah ( Al Qur’an ), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan ( dalam agama ) adalah yang diada adakan, dan setiap bid’ah ( yang diada adakan ) itu sesat” ( HR. Muslim ).
Masih banyak lagi hadits hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan untuk umat ini agamanya, Dia telah mencukupkan ni’matNya bagi mereka, Dia tidak akan mewafatkan Nabi Muhammad kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umatnya, dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun perbuatan.
Beliau menjelaskan bahwa segala sesuatu yang akan diada adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbatkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bad’ah yang ditolak, meskipun niatnya baik.
Para sahabat dan para ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari perbuatan perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita dari padanya, hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang penggunaan sunnah dan pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Waddhoh At Thorthusyi dan As Syaamah dan lain lain.
Diantara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah mengadakan upacara peringatan malam nisfu sya’ban, dan menghususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu, padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadits hadits yang menerangkan tentang fadlilah malam tersebut, tetapi hadits hadits tersebut dhoif, sehingga tidak dapat dijadikan landasan, adapun hadits hadits yang berkenaan dengan sholat pada hari itu adalah maudlu / palsu.
Dalam hal ini, banyak diantara para ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits hadits yang berkenaan dengan penghususan puasa dan fadlilah sholat pada hari nisfu sya’ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka.
Pendapat para ahli Syam diantaranya Al Hafidz Ibnu Rajab dalam bukunya “ Lathoiful Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam nisfu sya’ban adalah bid’ah, dan hadits hadits yang menerangkan keutamaanya semuanya lemah, hadits yang lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits yang shoheh, sedangkan upacara perayaan malam nisfu sya’ban tidak ada dasar yang shohih, sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits hadits yang dlo’if.
Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini, dan kami akan menukil pendapat para ulama kepada para pembaca, sehingga masalahnya menjadi jelas. Para ulama telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul (Al Hadits ), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu dari padanya, maka wajib diikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan ( dalam Al Qur’an dan As Sunnah ) adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan, apalagi mengajak untuk mengerjakanya dan menganggapnya baik.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat An Nisa’ :
“Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri (pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesutu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( Al Hadits ), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya” ( QS. An nisa’, 59 ).
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya ( terserah ) kepada Allah ( yang mempunyai sifat sifat demikian ), itulah Tuhanku, Kepada -Nya- lah aku bertawakkal dan kepada –Nya- lah aku kembali” ( QS. Asy syuro, 10 ).
“Katakanlah, jika kamu ( benar benar ) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa dosamu ” (QS. Ali Imran, 31 ).
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ” (QS. An Nisa’, 65).
Dan masih banyak lagi ayat ayat Al Qur’an yang semakna dengan ayat ayat diatas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al Qur’an dan Al Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya. Sesungguhnya hal itu adalah konsekwensi iman, dan merupakan perbuatan baik bagi para hamba, baik di dunia atau di aherat nanti, dan akan mendapat balasan yang lebih baik.
Dalam pembicaraan masalah malam nisfu sya’ban, Ibnu Rajab berkata dalam bukunya “ Lathoiful Ma’arif” : para Tabiin penduduk Syam ( Syiria sekarang ) seperti Kholid bin Ma’daan, Makhul, Luqman bin Amir, dan lainnya pernah mengagung agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam nisfi sya’ban, kemudian orang orang berikutnya mengambil keutamaan dan bentuk pengagungan itu dari mereka.
Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita cerita israiliyat, ketika masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin, ada yang menerima dan menyetujuinya, ada juga yang mengingkarinya, golongan yang menerima adalah ahli Bashrah dan lainnya, sedangkan golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas penduduk Hijaz ( Saudi Arabia sekarang ), seperti Atho dan Ibnu Abi Mulaikah, dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Ulama fiqih Madinah, yaitu ucapan para pengikut Imam Malik dan lain lainnya; mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah, adapun pendapat ulama Syam berbeda dalam pelaksanaanya dengan adanya dua pendapat :
Ini pendapat Auza’iy Imam ahli syam, sebagai ahli fiqh dan ulama mereka, Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkan pendapat Imam Ahmad tentang malam sinf sya’ban ini, tidak diketahui.
Ada dua riwayat yang menjadi sebab cenderung diperingatinya malam nisfu sya’ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (iedul fitri dan iedul adha ), dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, riwayat yang lain berpendapat bahwa memperingati malam tersebut dengan berjamaah disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk Tabi’in, begitu pula tentang malam nisfu sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan Tabiin ahli fiqh ( yuris prudensi ) yang di Syam ( syiria ), demikian maksud dari Al Hafidz Ibnu Rajab ( semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya ).
Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam nisfi sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para sahabat. Adapun pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya ( istihbab ) menjalankan sholat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al Hafidz Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dloif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil dalil syar’i tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada adakan dalam Islam , baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi sembunyi ataupun terang terangan, landasannya adalah keumuman hadits Nabi :
“Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.
Dan banyak lagi hadits hadits yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.
Imam Abu Bakar At thorthusyi berkata dalam bukunya “Al hawadits wal bida” : diriwayatkan oleh Wadhoh dari zaid bin Aslam berkata : kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqh kami yang menghadiri perayaan malam nisfu sya’ban, tidak mengindahkan hadits Makhul yang dloif, dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam malam lainya.
Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwasanya Zaid An numairy berkata : pahala yang didapat ( dari ibadah ) pada malam nisfu sya’ban menyamai pahala lailatul qadar, Ibnu Abi Mulaikah menjawab: seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat pasti saya pukul, Zaid adalah seorang penceramah.
Al ‘Allamah Asy Syaukani menulis dalam bukunya “ Al fawaidul Majmuah” sebagai berikut : bahwa hadits yang mengatakan :
“Wahai Ali, barang siapa yang melakukan sholat pada malam nisfu sya’ban sebanyak 100 rakaat, ia membaca setiap rakaat Al fatihah dan Qul huwallah ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya … dan seterusnya.
Hadits ini adalah maudhu’, pada lafadz lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahanya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul ( tidak dikenal ), hadits ini diriwayatkan dari kedua dan ketiga jalur sanad, kesemuanya maudhu dan perawi perowinya tidak diketahui.
Dalam kitab “Al Mukhtashor” Syaukani melanjutkan : hadits yang menerangkan tentang sholat nisfu sya’ban adalah bathil, Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Tholib rodhiallohu ‘anhu : jika datang malam nisfu sya’ban bersholat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dloif.
Dalam buku “ Allaali” diriwayatkan bahwa : seratus rakaat pada malam Nisfi sya’ban ( dengan membaca surah) Al ikhlas sepuluh kali ( pada setiap rakaat ) bersama keutamaan keutamaan yang lain, diriwayatkan oleh Ad Dailami dan lainya bahwa itu semua maudlu’ ( palsu ), dan mayoritas perowinya pada ketiga jalur sanadnya majhul ( tidak diketahui ) dan dloif ( lemah ).
Imam As Syaukani berkata : Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan ( membaca surat ) Al Ikhlas tiga puluh kali itu maudlu’ ( palsu ), dan hadits empat belas rakaat… dan seterusnya adalah maudlu’ ( tidak bisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent ).
Para fuqoha ( ahli yurisprudensi ) banyak yang tertipu dengan hadits hadits diatas, seperti pengarang Ihya Ulumuddin dan lainnya, juga sebagian dari para ahli tafsir, karena sholat pada malam ini, yakni malam nisfu sya’ban telah diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad, semuanya adalah bathil / tidak benar dan haditsnya adalah maudlu’.
Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat Turmudzi dan hadits Aisyah, bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam nisfu sya’ban, untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing, karena pembicaraan kita berkisar tentang sholat yang diadakan pada malam nisfu sya’ban itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqothi’ ( tidak sambung ) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan diatas, mengenai malam nisfu sya’ban, jadi dengan jelas bahwa sholat (khusus pada) malam itu juga lemah dasar hukumnya.
Al Hafidz Al Iraqi berkata : hadits ( yang menerangkan ) tentang sholat nisfi sya’ban itu maudlu dan pembohongan atas diri Rasulallah”.
Dalam kitab “Al Majmu” Imam Nawawi berkata : sholat yang sering kita kenal dengan sholat Roghoib ada ( berjumlah ) dua dua belas rakaat, dikerjakan antara maghrib dan Isya’, pada malam Jum’at pertama bulan rajab, dan shalat seratus rakaat pada malam nisfu sya’ban, dua sholat ini adalah bid’ah dan munkar, tidak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu, hanya karena disebutkan di dalam buku “Quutul qulub” dan “ Ihya Ulumuddin” sebab pada dasarnya hadits hadits tersebut bathil ( tidak boleh diamalkan ), kita tidak boleh cepat mempercayai orang orang yang tidak jelas bagi mereka hukum kedua hadits itu, yaitu mereka para imam yang kemudian mengarang lembaran lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits itu, karena ia telah salah dalam hal ini.
Syekh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Al Maqdisi telah mengarang sebuah buku yang berharga, beliau menolak ( menganggap bathil ) kedua hadits diatas ( tentang malam nisfu sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan rajab ), ia bersikap ( dalam mengungkapkan pendapatnya ) dalam buku tersebut, sebaik mungkin, dalam hal ini telah banyak pendapat para ulama, jika kita hendak menukil pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.
Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat ayat Al Qur’an dan beberapa hadits, serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebanaran ( haq ) bahwa peringatan malam nisfu sya’ban dengan pengshususan sholat atau lainnya, dan penghususan siang harinya dengan puasa, itu semua adalah bid’ah dan munkar, tidak ada landasan dalilnya dalam syariat Islam , bahkan hanya merupakan pengada adaan saja dalam Islam setelah masa para sahabat rodhiallohu ‘anhum, marilah kita hayati ayat Al Qur’an di bawah ini :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3 ).
Dan banyak lagi ayat ayat lain yang semakna dengan ayat di atas, selanjutnya marilah kita hayati sabda Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam :
“Barang siapa yang mengada adakan sesuatu perbuatan ( dalam agama ) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka ia tertolak”.
Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu berkata : Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Janganlah kamu sekalian menghususkan malam Jum’at dari pada malam malam lainnya dengan sholat tertentu, dan janganlah kamu sekalian mengkhusukan siang harinya dari pada hari hari lainnya dengan berpuasa tertentu, kecuali jika hari bertepatan dengan hari yang ia biasa berpuasa (bukan puasa khusus tadi )” ( HR. Muslim ).
Seandainya penghususan malam itu dengan ibadah tertentu diperbolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik dari pada malam malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik baik hari yang disinari oleh matahari ? hal ini berdasarkan hadits hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam yang shohih.
Ketika Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menghususkan sholat pada malam hari itu dari pada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lainpun lebih tidak boleh dihususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shohih yang menghususkan / menunjukkan adanya penghususan, ketika malam lailatul qadar dan malam malam bulan puasa itu disyariatkan supaya sholat dan bersungguh sungguh dengan ibadah tertentu, maka Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih :
“Barang siapa yang berdiri ( melakukan sholat ) pada bulan ramadlan dengan penuh rasa iman dan harapan ( pahala ), niscaya Allah subhaanahu wa ta’aala akan mengampuni dosanya yang telah lewat, dan barang siapa yang berdiri ( malakukan sholat ) pada malam lailatul qadar dengan penuh rasa iman dan harapan ( pahala ), niscaya Allah akan mengampuni dosa dosanya yang telah lewat” ( Muttafaqun ‘alaih ).
Jika seandainya malam nisfu sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab, serta malam isra’ dan mi’raj itu diperintahkan untuk dihususkan, dengan upacara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya, atau beliau melaksanakannya sendiri, jika memang hal itu pernah terjadi niscaya telah disampaikan oleh para sahabat kepada kita ; mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik baik manusia dan paling banyak memberi nasehat setelah para Nabi.
Dari pendapat para ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah, ataupun dari para sahabat tentang keutamaan malam nisfu sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab.
Dan dari sini kita mengetahui bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid’ah yang diada adakan dalam Islam, begitu pula penghususan malam tersebut dengan ibadah tertentu adalah bid’ah mungkar, sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam isra’ dan mi’raj, begitu juga tidak boleh dihususkan dengan ibadah ibadah tertentu, selain tidak boleh dirayakan dengan upacara upacara ritual, berdasarkan dalil dalil yang disebutkan tadi.
Hal ini, jika (malam kejadian isra’ dan mi’raj itu) diketahui, padahal yang benar adalah pendapat para ulama yang menandaskan tidak diketahuinya malam isra’ dan mi’raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam isra’ dan mi’raj itu pada tanggal 27 rajab adalah bathil, tidak berdasarkan pada hadits hadits yang shoheh, maka benar orang yang mengatakan :
“Sebaik baik perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapatkan petunjuk dan sejelek jelek perkara ( dalam agama ) adalah yang diada adakan berupa bid’ah bid’ah”
Allah lah tempat bermohon untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten kepada ajarannya, serta waspada terhadap hal hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah lah MahaPemberi dan Maha Mulia.
Semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada hamba-Nya dan RasulNya Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, begitu pula kepada keluarga dan para sahabatnya, Amien.
Referensi: Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, 2007, Waspada Terhadap Bid’ah.
See lessBagaimana Hukum Merayakan Peringatan Malam Isra’ Dan Mi’raj?
Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du : Tidak diragukan lagi, bahwa isra’ dan mi’raj merupakan tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan atas kebenaran kerasulan Muhammad shollallohuRead more
Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du :
Tidak diragukan lagi, bahwa isra’ dan mi’raj merupakan tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan atas kebenaran kerasulan Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan keagungan kedudukannya di sisi Tuhannya, selain juga membuktikan atas kehebatan Allah dan kebesaran kekuasaan-Nya atas semua makhluk.
Firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
“MahaSuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda tanda (kebesaran) kami, sesungguhnya Dia adalah MahaMendengar lagi MahaMelihat” ( QS. Al Isra’: 1).
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Allah telah menaikannya ke langit, dan pintu pintu langit itu terbuka untuknya, hingga beliau sampai ke langit yang ketujuh, kemudian beliau diajak bicara oleh Allah serta diwajibkan sholat lima waktu, yang semula diwajibkan lima puluh waktu, tetapi Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam senantiasa kembali kepada-Nya minta keringanan, sehingga dijadikannya lima waktu, namun demikian, walaupun yang diwajibkan lima waktu saja, tetapi pahalanya tetap seperti lima puluh waktu, karena perbuatan baik itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Hanya kepada Allah lah kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni’mat- Nya.
Tentang malam saat diselenggarakannya isra’ dan mi’raj itu belum pernah diterangkan penentuan (waktunya) oleh Rasulullah, tidak pada bulan rajab, atau ( pada bulan ) yang lain, jikalau ada penentuannya maka itupun bukan dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, menurut para ulama, hanya Allah lah yang mengetahui akan hikmah pelalaian manusia dalam hal ini.
Seandainya ada (hadits) yang menentukan (waktu) isra’ dan mi’raj, tetap tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menghususkannya dengan ibadah-ibadah tertentu, selain juga tidak boleh mengadakan upacara perkumpulan apapun, karena Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah mengadakan upacara upacara seperti itu, dan tidak pula menghususkan suatu ibadah apapun pada malam tersebut.
Jika peringatan malam tersebut disyariatkan, pasti Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya, melalui ucapan maupun perbuatan. Jika pernah dilakukan oleh beliau, pasti diketahui dan masyhur, dan tentunya akan disampaikan oleh para sahabat kepada kita, karena mereka telah menyampaikan dari Nabi apa apa yang telah dibutuhkan umat manusia, mereka belum pernah melanggar sedikitpun dalam masalah agama, bahkan merekalah orang yang pertama kali melakukan kebaikan setelah Rasulullah, maka jikalau upacara peringatan malam isra’ dan mi’raj itu ada tuntunannya, niscaya para sahabat akan lebih dahulu menjalankannya.
Nabi Muhammad adalah orang yang paling banyak memberi nasehat kepada manusia, beliau telah menyampaikan risalah kerasulannya dengan sebaik-baiknya, dan menjalankan amanat Tuhannya dengan sempurna, oleh karena itu jika upacara peringatan malam isra’ dan mi’raj serta bentuk bentuk pengagungannya itu berasal dari agama Allah, tentunya tidak akan dilupakan dan disembunyikan oleh Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena hal itu tidak ada, jelaslah bahwa upacara dan bentuk bentuk pengagungan malam tersebut bukan dari ajaran Islam sama sekali.
Allah subhaanahu wa ta’aala telah menyempurnakan agamaNya bagi umat ini, mencukupkan ni’matNya kepada mereka, dan mengingkari siapa saja yang berani mengada adakan sesuatu hal baru dalam agama, karena cara tersebut tidak dibenarkan oleh Allah subhaanahu wa ta’aala.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3 ).
“Apakah mereka mempunyai sesembahan sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridloi Allah ?, sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang orang yang dzalim itu akan memperoleh azab yang pedih” ( QS. As syura, 21 ).
Dalam hadits hadits shoheh Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita agar waspada dan menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah, dan beliau juga menjelaskan bahwa bid’ah itu sesat, sebagai peringatan bagi umatnya sehingga mereka menjauhinya, karena bid’ah itu mengandung bahaya yang sangat besar.
Dari Aisyah, RA berkata : bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa yang mengada adakan sesuatu perbuatan ( dalam agama ) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka amalan itu tertolak”.
Dan dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah bersabda :
“Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.
Dalam shoheh Muslim dari Jabir rodhialloh ‘anhu ia berkata : bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu khutbah Jum’at nya :
“Amma ba’du : sesungguhnya sebaik baik perkataan adalah Kitab Allah ( Al Qur’an ), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan ( dalam agama) adalah yang diada adakan, dan setiap bid’ah ( yang diada adakan) itu sesat” ( HR. Muslim ).
Dan dalam kitab kitab Sunan diriwayatkan dari Irbadh bin Saariyah rodhiallohu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati kami dengan nasehat yang mantap, (jika kita mendengarnya) hati kami bergetar, dan air mata kami akan berlinang, maka kami berkata kepadanya : wahai Rasulullah, seakan akan nasehat itu seperti nasehatnya orang yang akan berpisah, maka berilah kami nasehat, maka Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Aku wasiatkan kepada kamu sekalian agar selalu bertakwa kapada Allah, mendengarkan dan mentaati perintahNya, walaupun yang memerintah kamu itu seorang hamba, sesungguhnya barang siapa diantara kalian hidup ( pada masa itu ), maka ia akan menjumpai banyak perselisihan, maka ( ketika ) itu kamu wajib berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk sesudahku, pegang dan gigitlah dengan gigi gerahammu sekuatnya, dan sekali kali janganlah mengada ada hal yang baru ( dalam agama ), karena setiap pengadaan hal yang baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat ”.
Dan masih banyak hadits hadits lain yang semakna dengan hadits ini, para sahabat dan para ulama salaf telah memperingatkan kita agar waspada terhadap perbuatan bid’ah serta menjauhinya.
Dan tidaklah hal itu (peringatan agar waspada terhadap bid’ah), melainkan disebabkan karena (bid’ah itu) adalah tambahan terhadap agama, dan ( bid’ah itu ) adalah ( pembuatan ) syariat yang tidak diizinkan oleh Allah, karena hal itu menyerupai perbuatan musuh musuh Allah yaitu bangsa Yahudi dan Nasrani.
Adanya penambahan penambahan dalam agama itu (berarti) menuduh agama Islam kurang dan tidak sempurna, dengan jelas ini tergolong kerusakan besar, kemungkaran yang sesat dan bertentangan dengan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu dan Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3 ).
Selain itu, ( penambahan ) juga bertentangan dengan hadits hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan kita dari perbuatan bid’ah dan agar menjauhinya.
Kami berharap, semoga dalil dalil yang telah kami sebutkan tadi cukup memuaskan bagi mereka yang menginginkan kebenaran, dan mau mengingkari perbuatan bid’ah, yakni bid’ah mengadakan upacara peringatan malam isra’ dan mi’raj, dan supaya kita sekalian waspada terhadapnya, karena sesungguhnya hal itu bukan dari ajaran Islam sama sekali. Ketika Allah telah mewajibkan orang orang muslim itu agar saling nasehat menasehati dan saling menerangkan apa apa yang telah disyareatkan Allah dalam agama, serta mengharamkan penyembunyian ilmu, maka kami memandang perlu untuk mengingatkan saudara saudara kami dari perbuatan bid’ah ini, yang telah menyebar di berbagai belahan bumi, sehingga sebagian orang mengira itu berasal dari agama.
Hanya Allah lah tempat bermohon, untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin ini, dan memberi kepada mereka kemudahan dalam memahami agama Islam , semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan taufiq kepada kita semua untuk tetap berpegang teguh dengan agama yang haq ini, tetap konsisten menjalaninya dan meninggalkan apa apa yang bertentangan dengannya, hanya Allah lah penguasa segala galanya. Semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, Aamin.
Referensi: Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, 2007, Waspada Terhadap
See lessBid’ah.
Bagaimana Hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW?
Segala puji bagi Allah, semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya, serta orang orang yang mendapat petunjuk dari Allah. Telah berulang kali muncul pertanyaan tentang hukum upacara (ceremoni ) peringaRead more
Segala puji bagi Allah, semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya, serta orang orang yang mendapat petunjuk dari Allah.
Telah berulang kali muncul pertanyaan tentang hukum upacara (ceremoni ) peringatan maulid Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam ; mengadakan ibadah tertentu pada malam itu, mengucapkan salam atas beliau dan berbagai macam perbuatan lainnya.
Harus dikatakan, bahwa tidak boleh mengadakan kumpul kumpul / pesta-pesta pada malam kelahiran Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan juga malam lainnya, karena hal itu merupakan suatu perbuatan baru (bid’ah) dalam agama, selain Rasulullah belum pernah mengerjakanya, begitu pula Khulafaaurrasyidin, para sahabat lain dan para Tabi’in yang hidup pada kurun paling baik, mereka adalah kalangan orang orang yang lebih mengerti terhadap sunnah, lebih banyak mencintai Rasulullah dari pada generasi setelahnya, dan benar benar menjalankan syariatnya.
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa mengada adakan (sesuatu hal baru) dalam urusan (agama) kami yang (sebelumnya) tidak pernah ada, maka akan ditolak”.
Dalam hadits lain beliau bersabda :
“Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al qur’an) dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk Allah sesudahku, berpeganglah dengan sunnah itu, dan gigitlah dengan gigi geraham kalian sekuat kuatnya, serta jauhilah perbuatan baru (dalam agama), karena setiap perbuatan baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” ( HR. Abu Daud dan Turmudzi ).
Maka dalam dua hadits ini kita dapatkan suatu peringatan keras, yaitu agar kita senantiasa waspada, jangan sampai mengadakan perbuatan bid’ah apapun, begitu pula mengerjakannya.
Firman Allah ta’aala dalam kitab-Nya :
“Dan apa yang dibawa Rasul kepadamu, maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah ia, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah keras siksaan- Nya” (QS. Al Hasyr 7).
“Karena itu hendaklah orang orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih” (QS. An Nur, 63).
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang orang yang mengharap (rahmat ) Allah, dan ( kedatangan ) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah” ( QS. Al Ahzab,21 ).
“Orang orang terdahulu lagi pertama kali (masuk Islam ) diantara orang orang Muhajirin dan Anshor dan orang orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan itu, Allah ridho kepada mereka, dan merekapun ridho kepadaNya, serta Ia sediakan bagi mereka syurga syurga yang disana mengalir beberapa sungai, mereka kekal didalamnya, itulah kemenangan yang besar” ( QS, At taubah, 100 ).
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridlai Islam itu sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3 ).
Dan masih banyak lagi ayat ayat yang menerangkan kesempurnaan Islam dan melarang melakukan bid’ah karena mengada-adakan sesuatu hal baru dalam agama, seperti peringatan peringatan ulang tahun, berarti menunjukkan bahwasanya Allah belum menyempurnakan agamaNya buat umat ini, berarti juga Rasulullah itu belum menyampaikan apa apa yang wajib dikerjakan umatnya, sehingga datang orang orang yang kemudian mengada adakan sesuatu hal baru yang tidak diperkenankan oleh Allah, dengan anggapan bahwa cara tersebut merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak diragukan lagi, bahwa cara tersebut terdapat bahaya yang besar, lantaran menentang Allah ta’aala, begitu pula ( lantaran ) menentang Rasulullah. Karena sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya, dan telah mencukupkan ni’mat-Nya untuk mereka.
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan risalahnya secara keseluruhan, tidaklah beliau meninggalkan suatu jalan menuju syurga, serta menjauhi diri dari neraka, kecuali telah diterangkan oleh beliau kepada seluruh ummatnya sejelas jelasnya.
Sebagaimana telah disabdakan dalam haditsnya, dari Ibnu Umar rodhialloh ‘anhu bahwa beliau bersabda
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, melainkan diwajibkan baginya agar menunjukkan kepada umatnya jalan kebaikan yang telah diajarkan kepada mereka, dan memperingatkan mereka dari kejahatan ( hal hal tidak baik ) yang telah ditunjukkan kepada mereka” (HR. Muslim).
Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi terbaik diantara Nabi Nabi lain, beliau merupakan penutup bagi mereka ; seorang Nabi paling lengkap dalam menyampaikan da’wah dan nasehatnya diantara mereka itu semua.
Jika seandainya upacara peringatan maulid Nabi itu betul betul datang dari agama yang diridloi Allah, niscaya Rasulullah menerangkan kepada umatnya, atau beliau menjalankan semasa hidupnya, atau paling tidak, dikerjakan oleh para sahabat. Maka jika semua itu belum pernah terjadi, jelaslah bahwa hal itu bukan dari ajaran Islam sama sekali, dan merupakan seuatu hal yang diada adakan (bid’ah), dimana Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan kepada umatnya agar supaya dijauhi, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam dua hadits diatas, dan masih banyak hadits hadits lain yang senada dengan hadits tersebut, seperti sabda beliau dalam salah satu khutbah Jum’atnya:
“Adapun sesudahnya, sesungguhnya sebaik baik perkataan ialah kitab Allah (Al Qur’an), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan ( dalam agama) ialah yang diada adakan (bid’ah), sedang tiap tiap bid’ah itu kesesatan” ( HR. Muslim ).
Masih banyak lagi ayat ayat Al Qur’an serta hadits hadits yang menjelaskan masalah ini, berdasarkan dalil dalil inilah para ulama bersepakat untuk mengingkari upacara peringatan maulid Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan memperingatkan agar waspada terhadapnya.
Tetapi orang orang yang datang kemudian menyalahinya, yaitu dengan membolehkan hal itu semua selama di dalam acara itu tidak terdapat kemungkaran seperti berlebih lebihan dalam memuji Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, bercampurnya laki laki dan perempuan (yang bukan mahram), pemakaian alat alat musik dan lain sebagainya dari hal hal yang menyalahi syariat, mereka beranggapan bahwa ini semua termasuk bid’ah hasanah padahal kaidah syariat mengatakan bahwa segala sesutu yang diperselisihkan oleh manusia hendaknya dikembalikan kepada Al Qur’an dan sunnah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
“Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri (pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Al Hadits), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya” ( QS. An nisa’, 59 ).
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah ) kepada Allah ( yang mempunyai sifat sifat demikian ), itulah Tuhanku, Kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan kepada–Nya-lah aku kembali” ( QS. Asy syuro, 10 ).
Ternyata setelah masalah ini (hukum upacara maulid Nabi) kita kembalikan kepada kitab Allah ( Al Qur’an ), kita dapatkan suatu perintah yang menganjurkan kita agar mengikuti apa apa yang dibawa oleh Rasulullah, menjauhi apa apa yang dilarang oleh beliau, dan (Al Qur’an ) memberi penjelasan pula kepada kita bahwasanya Allah subhaanahu wa ta’aala telah menyempurnakan agama umat ini.
Dengan demikian upacara peringatan maulid Nabi ini tidak sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka ia bukan dari ajaran agama yang telah disempurnakan oleh Allah subhaanahu wa ta’aala kepada kita, dan diperintahkan agar mengikuti sunnah Rasul, ternyata tidak terdapat keterangan bahwa beliau telah menjalankannya, (tidak) memerintahkannya, dan (tidak pula) dikerjakan oleh sahabat sahabatnya.
Berarti jelaslah bahwasanya hal ini bukan dari agama, tetapi ia adalah merupakan suatu perbuatan yang diada adakan, perbuatan yang menyerupai hari hari besar ahli kitab, Yahudi dan Nasrani.
Hal ini jelas bagi mereka yang mau berfikir, berkemauan mendapatkan yang haq, dan mempunyai keobyektifan dalam membahas; bahwa upacara peringatan maulid Nabi bukan dari ajaran agama Islam, melainkan merupakan bid’ah bid’ah yang diada adakan, dimana Allah memerintahkan RasulNya agar meninggalkanya dan memperingatkan agar waspada terhadapnya, tak layak bagi orang yang berakal tertipu karena perbuatan perbuatan tersebut banyak dikerjakan oleh orang banyak diseluruh jagat raya, sebab kebenaran (Al Haq) tidak bisa dilihat dari banyaknya pelaku (yang mengerjakannya), tetapi diketahui atas dasar dalil dalil syara’.
Sebagaimana Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman tentang orang orang Yahudi dan Nasrani:
“Dan mereka ( Yahudi dan Nasrani ) berkata : sekali kali tak (seorangpun ) akan masuk sorga, kecuali orang orang yang beragama Yahudi dan Nasrani. Demikian itu (hanya) angan angan mereka yang kosong belaka ; katakanlah : tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu orang orang yang benar” (QS. Al Baqarah, 111).
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang orang yang berada dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah ; mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak lain hanyalah menyangka-nyangka” (QS. Al An’am, 116).
Lebih dari itu, upacara peringatan maulid Nabi ini – selain bid’ah –tidak lepas dari kemungkaran-kemungkaran, seperti bercampurnya laki laki dan perempuan (yang bukan mahram), pemakaian lagu lagu dan bunyi bunyian, minum minuman yang memabukkan, ganja dan kejahatan kejahatan lainya yang serupa.
Kadangkala terjadi juga hal yang lebih besar dari pada itu, yaitu perbuatan syirik besar, dengan sebab mengagung-agungkan Rasulullah secara berlebih lebihan atau mengagung agungkan para wali, berupa permohonan do’a, pertolongan dan rizki. Mereka percaya bahwa Rasul dan para wali mengetahui hal hal yang ghoib, dan macam macam kekufuran lainnya yang sudah biasa dilakukan orang banyak dalam upacara malam peringatan maulid Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam itu.
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Janganlah kalian berlebih lebihan dalam agama, karena berlebih lebihan dalam agama itu telah menghancurkan orang orang sebelum kalian”.
“Janganlah kalian berlebih lebihan dalam memujiku sebagaimana orang orang Nasrani memuji anak Maryam, Aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : hamba Allah dan Rasul Allah” ( HR. Bukhori dalam kitab shohihnya, dari hadits Umar, RA ).
Yang lebih mengherankan lagi yaitu banyak diantara manusia itu ada yang betul-betul giat dan bersemangat dalam rangka menghadiri upacara bid’ah ini, bahkan sampai membelanya, sedang mereka berani meninggalkan sholat Jum’at dan sholat jama’ah yang telah diwajibkan oleh Allah kepada mereka, dan sekali kali tidak mereka indahkan. Mereka tidak sadar kalau mereka itu telah mendatangkan kemungkaran yang besar, disebabkan karena lemahnya iman kurangnya berfikir, dan berkaratnya hati mereka, karena bermacam macam dosa dan perbuatan maksiat. Marilah kita sama sama meminta kepada Allah agar tetap memberikan limpahan karuniaNya kepada kita dan kaum muslimin.
Diantara pendukung maulid itu ada yang mengira, bahwa pada malam upacara peringatan tersebut Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam datang, oleh kerena itu mereka berdiri menghormati dan menyambutnya, ini merupakan kebatilan yang paling besar, dan kebodohan yang paling nyata. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari kiamat, tidak berkomunikasi kepada seorangpun, dan tidak menghadiri pertemuan pertemuan umatnya, tetapi beliau tetap tinggal didalam kuburnya sampai datang hari kiamat, sedangkan ruhnya ditempatkan pada tempat yang paling tinggi (‘Illiyyin ) di sisi TuhanNya, itulah tempat kemuliaan.
Firman Allah dalam Al Qur’an :
“Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian pasti mati, kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan ( dari kuburmu ) di hari kiamat” ( QS. Al Mu’minun, 15-16 ).
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Aku adalah orang yang pertama kali dibangkitkan/dibangunkan diantara ahli kubur pada hari kiamat, dan aku adalah orang yang pertama kali memberi syafa’at dan diizinkan memberikan syafa’at”.
Ayat dan hadits diatas, serta ayat ayat dan hadits hadits yang lain yang semakna menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dan mayat mayat yang lainnya tidak akan bangkit kembali kecuali sesudah datangnya hari kebangkitan. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama, tidak ada pertentangan diantara mereka.
Maka wajib bagi setiap individu muslim memperhatikan masalah masalah seperti ini, dan waspada terhadap apa apa yang diada-adakan oleh orang orang bodoh dan kelompoknya, dari perbuatan perbuatan bid’ah dan khurafat khurafat, yang tidak diturunkan oleh Allah subhaanahu wa ta’aala. Hanya Allah lah sebaik baik pelindung kita, kepada-Nyalah kita berserah diri dan tidak ada kekuatan serta kekuasaan apapun kecuali kepunyaan-Nya.
Sedangkan ucapan sholawat dan salam atas Rasulullah adalah merupakan pendekatan diri kepada Allah yang paling baik, dan merupakan perbuatan yang baik, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an :
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat malaikatNya bersholawat kepada Nabi, hai orang orang yang beriman, bersholawatlah kalian atas Nabi dan ucapkanlah salam dengan penghormatan kepadanya” ( QS. Al Ahzab, 56 ).
Dan Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa yang mengucapkan sholawat kepadaku sekali, maka Allah akan bersholawat ( memberi rahmat ) kepadanya sepuluh kali lipat.”
Sholawat itu disyariatkan pada setiap waktu, dan hukumnya Muakkad jika diamalkan pada ahir setiap sholat, bahkan sebagian para ulama mewajibkannya pada tasyahud ahir di setiap sholat, dan sunnah muakkadah pada tempat lainnya, diantaranya setelah adzan, ketika disebut nama Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, pada hari Jum’at dan malamnya, sebagaimana hal itu diterangkan oleh hadits hadits yang cukup banyak jumlahnya.
Allah lah tempat kita memohon, untuk memberi taufiq kepada kita sekalian dan kaum muslimin, dalam memahami agama Nya, dan memberi mereka ketetapan iman, semoga Allah memberi petunjuk kepada kita agar tetap kosisten dalam mengikuti sunnah, dan waspada terhadap bid’ah, karena Dialah MahaPemurah dan MahaMulia, semoga pula sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Referensi: Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, 2007, Waspada Terhadap
See lessBid’ah.
Bagaimana Adab Ketika Melakukan Safar atau Bepergian Jauh?
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi umat Islam ketika melakukan safar atau bepergian jauh antara lain: 1. Disunnatkan bagi orang yang berniat untuk melakukan perjalan jauh (safar) beristikharah terlebih dahulu kepada Allah mengenai rencana safarnya itu, dengan sholat dua raka`at di luar shalatRead more
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi umat Islam ketika melakukan safar atau bepergian jauh antara lain:
1. Disunnatkan bagi orang yang berniat untuk melakukan perjalan jauh (safar) beristikharah terlebih dahulu kepada Allah mengenai rencana safarnya itu, dengan sholat dua raka`at di luar shalat wajib, lalu berdo`a dengan do`a istikharah.
2. Hendaknya bertobat kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dari segala kemaksiatan yang pernah ia lakukan dan meminta ampun kepada-Nya dari segala dosa yang telah diperbuatnya, sebab ia tidak tahu apa yang akan terjadi di balik kepergiannya itu.
3. Hendaknya ia mengembalikan barang-barang yang bukan haknya dan amanat-amanat kepada orang-orang yang berhak menerimanya, membayar hutang atau menyerahkannya kepada orang yang akan melunasinya dan berpesan kebaikan kepada keluarganya.
4. Membawa perbekalan secukupnya, seperti air, makanan dan uang.
5. Disunnatkan bagi musafir pergi dengan ditemani oleh teman yang shalih selama perjalanannya untuk meringankan beban diperjalananya dan menolongnya bila perlu. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda:
“Kalau sekiranya manusia mengetahui apa yang aku ketahui di dalam kesendirian, niscaya tidak ada orang yang menunggangi kendaraan (musafir) yang berangkat di malam hari sendirian”. (HR. Al-Bukhari)
6. Disunnatkan bagi para musafir apabila jumlah mereka lebih dari tiga orang mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin (amir), karena hal tersebut dapat mempermudah pengaturan urusan mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Apabila tiga orang keluar untuk safar, maka hendaklah mereka mengangkat seorang amir dari mereka”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al- Albani).
7. Disunnatkan berangkat safar pada pagi (dini) hari dan sore hari, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Ya Allah, berkahilah bagi ummatku di dalam kediniannya”. Dan juga bersabda: “Hendaknya kalian memanfaatkan waktu senja, karena bumi dilipat di malam hari”. (Keduanya diriwayat-kan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
8. Disunatkan bagi musafir apabila akan berangkat mengu-capkan selamat tinggal kepada keluarga, kerabat dan teman-temannya, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan dia sabdakan:
“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanatmu dan penutup-penutup amal perbuatanmu”. (HR. At-Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani).
9. Apabila si musafir akan naik kendaraannya, baik berupa mobil atau lainnya, maka hendaklah ia membaca basmalah; dan apabila telah berada di atas kendaraannya hendaklah ia bertakbir tiga kali, kemudian membaca do`a safar berikut ini:
Subhaanal ladzi sakhkhara lanaa haadzaa wamaa kunnaa lahu muqrinina wa innaa ilaa rabbinaa lamunqalibuuna.
“Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami; Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu di dalam perjalanan kami ini kebajikan dan ketaqwaan, dan amal yang Engkau ridhai; Ya Allah, mudahkanlah perjalannan ini bagi kami dan dekatkanlah kejauhannya; Ya Allah, Engkau adalah Penyerta kami di dalam perjalanan ini dan Pengganti kami di keluarga kami; Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari bencana safar dan kesedihan pemandangan, dan keburukan tempat kembali pada harta dan keluarga”. (HR. Muslim).
10. Disunnatkan bertakbir di saat jalan menanjak dan bertasbih di saat menurun, karena ada hadits Jabir yang menuturkan:
“Apabila (jalan) kami menanjak, maka kami bertakbir, dan apabila menurun maka kami bertasbih”. (HR. Al-Bukhari).
11. Disunnatkan bagi musafir selalu berdo`a di saat perjalanannya, karena do`anya mustajab (mudah dikabulkan).
12. Apabila si musafir perlu untuk bermalam atau beristirahat di tengah perjalanannya, maka hendaknya menjauh dari jalan; karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Apabila kamu hendak mampir untuk beristirahat, maka menjauhlah dari jalan, karena jalan itu adalah jalan binatang melata dan tempat tidur bagi binatang-binatang di malam hari”. (HR. Muslim).
13. Apabila musafir telah sampai tujuan dan menunaikan keperluannya dari safar yang ia lakukan, maka hendaknya segera kembali ke kampung halamannya. Di dalam hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu disebutkan diantaranya:
“……Apabila salah seorang kamu telah menunaikan hajatnya dari safar yang dilakukannya, maka hendaklah ia segera kembali ke kampung halamannya”. (Muttafaq’ alaih).
14. Disunnatkan pula bagi si musafir apabila ia kembali ke kampung halamannya untuk tidak masuk ke rumahnya di malam hari, kecuali jika sebelumnya diberi tahu terlebih dahulu. Hadits Jabir menuturkan :
”Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang seseorang mengetuk rumah (membangunkan) keluarganya di malam hari”. (Muttafaq’alaih).
15. Disunnatkan bagi musafir di saat kedatangannya pergi ke masjid terlebih dahulu untuk shalat dua rakaat. Ka`ab bin Malik meriwayatkan:
“Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam apabila datang dari perjalanan (safar), maka ia langsung menuju masjid dan di situ ia shalat dua raka`at”. (Muttafaq’ alaih).
Referensi: Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, tt, Etika Muslim Sehari-hari.
See lessBagaimana Adab dan Etika Ketika Mengantar Jenazah dan Melayat Orang Mati?
Hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian bagi umat Islam ketika mengantar jenazah atau melakukan takziyah antara lain: 1. Segera merawat janazah dan mengebumikannya untuk meringankan beban keluarganya dan sebagai rasa belas kasih terhadap Abu Hurairah. Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menyebutkaRead more
Hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian bagi umat Islam ketika mengantar jenazah atau melakukan takziyah antara lain:
1. Segera merawat janazah dan mengebumikannya untuk meringankan beban keluarganya dan sebagai rasa belas kasih terhadap Abu Hurairah. Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menyebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda:
“Segeralah (di dalam mengurus) jenazah, sebab jika amal-amalnya shalih, maka kebaikanlah yang kamu berikan kepadanya; dan jika sebaliknya, maka keburukan-lah yang kamu lepaskan dari pundak kamu”. (Muttafaq alaih).
2. Tidak menangis dengan suara keras, tidak meratapinya dan tidak merobek-robek baju. Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda:
“Bukan golongan kami orang yang memukul-mukul pipinya dan merobek-robek bajunya, dan menyerukan kepada seruan jahiliyah”. (HR. Al-Bukhari).
3. Disunatkan mengantar janazah hingga dikubur. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersada:
“Barangsiapa yang menghadiri janazah hingga menshalatkannya, maka baginya (pahala) sebesar qirath; dan barangsiapa yang menghadirinya hingga dikuburkan maka baginya dua qirath”. Nabi ditanya: “Apa yang disebut dua qirath itu?”.
Nabi menjawab: “Seperti dua gunung yang sangat besar”. (Muttafaq’alaih).
4. Memuji si mayit (janazah) dengan mengingat dan menyebut kebaikan-kebaikannya dan tidak mencoba untuk menjelek- jelekkannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
”Janganlah kamu mencaci-maki orang-orang yang telah mati, karena mereka telah sampai kepada apa yang telah mereka perbuat”. (HR. Al- Bukhari).
5. Memohonkan ampun untuk janazah setelah Ibnu Umar Radhiyallaahu anhu pernah berkata:
“Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam apabila selesai mengubur janazah, maka berdiri di atasnya dan bersabda:”Mohonkan ampunan untuk saudaramu ini, dan mintakan kepada Allah agar ia diberi keteguhan, karena dia sekarang akan ditanya”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani).
6. Disunatkan menghibur keluarga yang berduka dan memberikan makanan untuk Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda:
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja`far, karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang membuat mereka sibuk”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
7. Disunnatkan berta`ziah kepada keluarga korban dan menyarankan mereka untuk tetap sabar, dan mengatakan kepada mereka:
“Sesungguhnya milik Allahlah apa yang telah Dia ambil dan milik-Nya jualah apa yang Dia berikan; dan segala sesuatu disisi-Nya sudah ditetapkan ajalnya. Maka hendaklah kamu bersabar dan mengharap pahala.
Referensi: Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, tt, Etika Muslim Sehari-hari.
See lessBagaimana Adab dan Etika Ketika Menjenguk Orang Sakit?
Beberapa hal yang perlu kita perhatikan ketika menjenguk orang sakit antara lain : Untuk orang yang berkunjung (menjenguk): 1. Hendaknya tidak lama di dalam berkunjung, dan mencari waktu yang tepat untuk berkunjung, dan hendaknya tidak menyusahkan si sakit, bahkan berupaya untuk menghibur dan membahRead more
Beberapa hal yang perlu kita perhatikan ketika menjenguk orang sakit antara lain :
Untuk orang yang berkunjung (menjenguk):
1. Hendaknya tidak lama di dalam berkunjung, dan mencari waktu yang tepat untuk berkunjung, dan hendaknya tidak menyusahkan si sakit, bahkan berupaya untuk menghibur dan membahagiakannya.
2. Hendaknya mendekat kepada si sakit dan menanyakan keadaan dan penyakit yang dirasakannya, seperti mengatakan: “Bagaimana kamu rasakan keadaanmu?”. Sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam .
3. Mendo`akan semoga cepat sembuh, dibelaskasihi Allah, selamat dan disehatkan. Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu telah meriwayatkan bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam apabila beliau menjenguk orang sakit, ia mengucapkan: “Tidak apa-apa. Sehat (bersih) insya Allah”. (HR. Al-Bukhari). Dan berdo`a tiga kali sebagaimana dilakukan oleh Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam .
4. Mengusap si sakit dengan tangan kanannya, dan berdo`a:
Adzhibilba’sa robban naasi, isyfi antasy-syafi la syifa’a illa syifa’uka, syifa’an la yughadiru saqamaa.
“Hilangkanlah kesengsaraan (penyakitnya) wahai Tuhan bagi manusia, sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tiada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”. (Muttafaq’alaih).
5. Mengingatkan si sakit untuk bersabar atas taqdir Allah Subhannahu wa Ta’ala dan jangan mengatakan “tidak akan cepat sembuh”, dan hendaknya tidak mengharapkan kematiannya sekalipun penyakitnya sudah kronis.
6. Hendaknya mentalkinkan kalimat Syahadat bila ajalnya akan tiba, memejamkan kedua matanya dan mendo`akan-nya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda:
“Talkinlah orang yang akan meninggal di antara kamu “La ilaha illallah”. (HR. Muslim).
Untuk orang yang sakit:
1. Hendaknya segera bertobat dan bersungguh-sungguh beramal shalih.
2. Berbaik sangka kepada Allah, dan selalu mengingat bahwa ia sesungguhnya adalah makhluk yang lemah di antara makhluk Allah lainnya, dan bahwa sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta’ala tidak membutuhkan untuk menyiksanya dan tidak membutuhkan ketaatannya
3. Hendaknya cepat meminta kehalalan atas kezhaliman-kezhaliman yang dilakukan olehnya, dan segera membayar/menunaikan hak-hak dan kewajiban kepada pemiliknya, dan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
4. Memperbanyak zikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an dan beristighfar (minta ampun).
5. Mengharap pahala dari Allah dari musibah (penyakit) yang dideritanya, karena dengan demikian ia pasti diberi pahala. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Apa saja yang menimpa seorang mu’min baik berupa kesedihan, kesusahan, keletihan dan penyakit, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah meninggikan karenanya satu derajat baginya dan mengampuni kesalahannya karenanya”. (Muttafaq’alaih).
6. Berserah diri dan tawakkal kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dan berkeyakinan bahwa kesembuhan itu dari Allah, dengan tidak melupakan usaha-usaha syar`i untuk kesembuhannya, seperti berobat dari penyakitnya.
Referensi: Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, tt, Etika Muslim Sehari-hari.
See lessBagaimana Adab dan Etika Ketika Kita Berada di Dalam Pertemuan atau Majlis?
Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika kita menghadiri sebuah rapat, pertemuan atau berada dalam suatu majlis adalah sebagai berikut, 1. Hendaknya memberi salam kepada orang-orang yang di dalam majlis di saat masuk dan keluar dari majlis tersebut. Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu telah meriwayatRead more
Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika kita menghadiri sebuah rapat, pertemuan atau berada dalam suatu majlis adalah sebagai berikut,
1. Hendaknya memberi salam kepada orang-orang yang di dalam majlis di saat masuk dan keluar dari majlis tersebut. Abu Hurairah Radhiallaahu ‘anhu telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu jika dilihat layak baginya duduk maka duduklah ia. Kemudian jika bangkit (akan keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah yang pertama lebih berhak daripada yang selanjutnya. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al-Albani).
2. Hendaknya duduk di tempat yang masih tersisa. Jabir bin Samurah telah menuturkan:
Adalah kami, apabila kami datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka masing-masing kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
3. Jangan sampai memindahkan orang lain dari tempat duduknya kemudian mendudukinya, akan tetapi berlapang-lapanglah di dalam majlis. Ibnu Umar Radhiallaahu ‘anhuma telah meriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Seseorang tidak boleh memindahkan orang lain dari tempat duduknya, lalu ia menggantikannya, akan tetapi berlapanglah dan perluaslah.” (Muttafaq’alaih).
4. Tidak duduk di tengah-tengah halaqah (lingkaran majlis).
5. Tidak duduk di antara dua orang yang sedang duduk kecuali seizin mereka. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal bagi seseorang memisah di antara dua orang kecuali seizin keduanya”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
6. Tidak boleh menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu keperluan. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seorang di antara kamu bangkit (keluar) dari tempat duduknya, kemudian kembali, maka ia lebih berhak menempatinya”. (HR.Muslim)
7. Tidak berbisik berduaan dengan meninggalkan orang ketiga. Ibnu Mas`ud Radhiallaahu ‘anhu menuturkan :
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila kamu tiga orang, maka dua orang tidak boleh berbisik-bisik tanpa melibatkan yang ketiga sehingga kalian bercampur baur dengan orang banyak, karena hal tersebut dapat membuatnya sedih”. (Muttafaq’alaih).
8. Para anggota majlis hendaknya tidak banyak tertawa. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
”Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena banyak tawa itu mematikan hati”. (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
9. Hendaknya setiap anggota majlis menjaga pembicaraan yang terjadi di dalam forum (majlis). Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seseorang membicarakan suatu pembicaraan kemudian ia menoleh, maka itu adalah amanat”. (HR. At- Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
10. Anggota majlis hendaknya tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perasaan orang lain, seperti menguap atau membuang ingus atau bersendawa di dalam majlis.
11. Tidak melakukan perbuatan memata-matai. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kamu mencari-cari atau memata-matai orang”. (Muttafaq’alaih).
12. Disunnatkan menutup majlis dengan do`a Kaffarat majlis, karena Rasulullah telah bersabda:
“Barang siapa yang duduk di dalam suatu majlis dan di majlis itu terjadi banyak gaduh, kemudian sebelum bubar dari majlis itu ia membaca :
Subhaanakallahumma wabihamdika, asyhadu anlaa ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaika.
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala puji bagi-Mu; aku bersaksi bahwasanya tiada yang berhak disembah selain engkau; aku memohon ampunanmu dan aku bertobat kepada-Mu”, melainkan Allah mengampuni apa yang terjadi di majlis itu baginya”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al- Albani).
Referensi: Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, tt, Etika Muslim Sehari-hari.
See less